Kamis, Mei 1

Sejarah Bukik Tinggi


Sejarah Kota-kota di Indonesia, Zulqayyim, staf pengajar jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menulis tentang “Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi Masa Kolonial Belanda”. Dalam tulisan itu ia menyertakan sejarah berdirinya Bukik tinggi yang dimulai dari sebuah pasar yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.

Pada awalnya pasar, atau orang Minangkabau menyebutnya sebagai pakan, itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makian ramai, maka ditambah dengan hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini.

Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tanggal 22 Desember 1784 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi.

Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi. Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock.

Nagari Kurai adalah salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk.

Pada sekitar 1825-1826, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, Kapten Bauer, mendirikan benteng Fort de Kock di Bukit Jirek 300 meter sebelah utara Pasar Bukik tinggi.

Nama Fort de Kock diambil dari nama Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Hendrik Markus de Kock. Benteng itu dibangun untuk membantu Kaum Adat menghadapi Kaum Paderi (Agama).

Sejak itu pemerintah Hindia Belanda menyebut kawasan itu sebagai Fort de Kock sedangkan warga Minangkabau tetap menyebut Bukik Tinggi.

Tidak ada komentar: