Selasa, Juli 15

Nagari Maek Nan Mamikek


Maek, Nagari Seribu Menhir.

Nagari Maek di Payakumbuah menjadi salah satu tujuan wisata yang menempati daftar teratas dalam agenda perjalanan wisata, oleh karena itu Lembah Harau dan Ngalau di Kabupaten Limopuluah Koto pun ada pada urutan sesudahnya untuk dikunjungi.

Ketertarikan untuk mengunjungi tempat tersebut disebabkan rasa penasaran ingin melihat Menhir, suatu peninggalan pra sejarah di zaman neolitikum, masa 6000/4000 SM - 2000 SM.
Batu tunggal (monolith) yang berdiri tegak diatas tanah itu menunjukkan adanya kehidupan manusia purba di ranah Minang. Hal inilah yang menjadi akar rasa penasaran, sebab menurut Tambo Minang nenek moyang masyarakat Minang dikatakan bermula dari lereng Gunung Marapi.

Nagari Maek, sebuah nagari yang terdapat di Kecamatan Bukit Barisan jaraknya kira-kira hanya 42 km dari pusat kota Payakumbuh, namun untuk mencapai lokasi tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat jalan menuju daerah yang terdapat di sebuah lembah ini harus melalui jalan berliku, mendaki dan menuruni bukit, medan yang cukup sulit. Meski sebagian jalannya sudah beraspal mulus, tetapi masih ada kondisi jalan yang rusak parah, sehingga supir harus beberapa kali turun untuk memastikan bahwa mobil dapat melintasi jalan dengan aman.

Perjalanan yang mebutuhkan waktu yang cukup lama tersebut sama sekali tidak mampu melahirkan rasa bosan, pasal pemandangan yang menakjubkan terhampar di sepanjang perjalanan. Alam yang asri diselingkar perbukitan sungguh menawan, cahaya matahari yang jatuh pada salah satu sisi bukit-bukit kecil membuat bukit seolah hijau menyala dan bukit yang lebih tinggi berwarna keabu-abuan nampak dari kejauhan.

Meskipun nagari yang menyimpan bukti kehidupan pra sejarah ini merupakan salah satu obyek wisata yang juga menjadi tujuan para peneliti yang ingin mengungkapkan adanya kehidupan purba disini, namun ternyata untuk menemukannya tidaklah mudah, sebentar-sebentar kami harus berhenti untuk menanyakan lokasi tujuan, tidak ada penunjuk arah yang terpampang sebagai pemandu perjalanan ke Nagari yang disebut sebagai nagari tertua, sungguh sayang memang.

Meskipun Nagari yang dipagari bukit dan berada di lembah namun kondisi yang demikian tidak membuat masyarakat yang berjumlah lebih kurang 12.000 jiwa di lokasi tersebut terisolasi dari perkembangan, kehidupan disana tampak maju, pekerjaan rata-rata penduduk adalah berladang dan beternak sapi.

Situs Megalith

Kompleks yang menyimpan berpuluh batu tegak yang pertama kami datangi adalah Cagar Budaya Megalit Balai Batu. Di kompleks ini terdapat tidak kurang 60-70 batu menhir yang tegak berdiri dan kesemuanya menghadap ke bukit Bungsu.

Meskipun saat itu sedang gerimis, kami tetap berlarian ke halaman yang cukup luas untuk mengagumi dan mengambil gambar sebagai dokumentasi Tim Pulau Api yang mempunyai kegiatan berwisata di ranah Minangkabau, sebuah kegiatan pribadi yang dilakukan sebagai bentuk partisipasi dalam rangka mengembangkan potensi wisata di Sumatera Barat. Meskipun kecil sumbangsih yang diberikan tapi kami yakin sekecil apapun peran serta yang dilakukan tetap akan menghasilkan manfaat, setidaknya tulisan ini bisa jadi tambahan informasi dan bermuatan promosi.

Setelah puas mengagumi dan mengambil gambar, kami sempat bertemu dan berbincang dengan seorang petugas dari BP3, dari beliau kami mendapatkan informasi bahwa Menhir-menhir tersebut merupakan pertanda kubur, merupakan batu nisan.

Dari Cagar Budaya Megalit Balai Batu perjalanan memburu menhir dilanjutkan, hingga sampai di situs dimana pada tempat tersebut tersebar hampir 370 monolith.
Bagai menemukan sesuatu yang sangat berharga, kami lantas berhamburan ke dalam area yang mungkin saja merupakan lokasi perkuburan purba dan tentu saja terlebih dulu kami mengucapkan salam "Assalamualaikum Nyiak" begitu bunyi salam yang kami ucapkan. Selepas itu masing masing anggota memulai kesibukan sendiri-sendiri, mengambil foto-foto batu dari berbagai sisi, setiap kali ada yang menarik perhatian kami akan saling memberitahukan. Meski bukan ahli, sikap kami seperti layaknya peneliti yang mengerti, tertarik memperhatikan setiap detail yang ada di batu monolith di situs cagar budaya Menhir Bawah Parit.

Di Padang luas yang menjadi kompleks situs megalit Menhir bawah Parit tersebar berbagai bentuk dan jenis batu, semuanya menghadap ke arah Gunung Sago. Menhir yang terdapat disini lebih bervariasi ukurannya. Kalau dilihat dari warna (seperti ahli saja) kami menyimpulkan materialnya juga berbeda, ada yang seperti kumpulan batu karang


Photo by: Yoen Aulina Casym

Rumah Gadang Bundo Kanduang


Rumah Gadang Bundo Kanduang 



Rumah Gadang Bundo Kanduang yang terdapat di Gudam Pagaruyuang ini seperti memanggil kami untuk singgah. Dua tahun lalu ketika Tim Pulau Api berwisata ke Tanah Datar, rumah ini tak sempat kami kunjungi. Kami terlalu asyik menikmati prasasti peninggalan sejarah yang berkaitan dengan Adityawarman serta batu batikam yang menyimpan cerita tentang Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Hal lain yang menyebabkan rumah ini luput kami liput adalah karena tidak banyak informasi yang kami dapat mengenai rumah gadang ini, sepertinya rumah ini tidak menjadi salah satu obyek wisata disana padahal tempatnya berseberangan dengan prasasti Adityawarman dan dekat dengan obyek wisata lainnya, memang tidak ada papan pemberitahuan yang menyebutkan rumah ini adalah situs cagar budaya.

Namun kali ini kami sengaja mendatanginya, ada semacam kekuatan yang menarik rasa rindu untuk berkunjung. Masih seperti duatahun lalu, rumah ini tetap terkunci seolah menyendiri. Halamannya luas namun bersih dan tertata rapi, terlihat sekali bahwa rumah ini sangat terurus meski tak sepeserpun mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten. Pemilik rumah menjaga dan merawatnya sepenuh hati dengan kemampuan yang dimiliki.

Di halaman kiri depan tedapat papan yang bertuliskan “Rumah Gadang Bunda Kanduang, Batu Basurek Gudam Pagaruyung, Jl Sultan Alam Bagagarsyah No 155, Batusangkar”, dan dihalaman depan sebelah kanan terdapat batu besar yang sepertinya untuk tempat duduk bersandar, serupa seperti yang terdapat di Medan bapaneh, tempat bermusyawarah jaman dahulunya.

Meski pun pintu gerbang terkunci, hal tersebut tidak menyebabkan kami berpikir untuk membatalkan rencana yang i sudah terpatri di hati, maka dengan suara lantang, aku menyuarakan salam “Assalamualaikum….”, dua kali salam aku ulang, keluarlah seorang wanita tua membawa kunci dan membuka pagar, segera aku salami tangannya seraya mencium punggung tangannya. “lai sihaik Mak?”

Meskipun mungkin beliau bingung dalam hati, tetapi dijawabnya juga pertanyaanku sambil mempersilahkan kami menuju rumah gadang. Anak laki-lakinya kemudian membuka pintu rumah gadang dan menganjurkan kami untuk langsung naik ke rumah.
“Masuak lah Nak…” kata perempuan yang aku panggil dengan sebutan amak itu dengan ramah tanpa sedikitpun bertanya siapa kami sebenarnya.

Baru saja kami duduk, kami lantas disuguhi cerita tentang rumah gadang ini, beliau tentunya sudah mengira maksud kedatangan kami. Rumah Gadang Bundo Kanduang menurut cerita yang dikisahkan oleh anak laki-laki amak itu adalah tempat asal usul Raja Pagaruyuang.

“Kerajaan asli Pagaruyuang ya ini, disini…di Ranah Kampuang Dalam, Gudam Pagaruyuang”
Rumah Gadang ini hanya memiliki tiga ruang, tak lazim memang, karena biasanya rumah gadang memiliki Sembilan ruang. Namun keheranan kami segera terjawab oleh cerita yang dituturkan kemudian.

“daulu (dulu) rumah ini memiliki Sembilan ruang, tetapi rumah gadang pertama telah terbakar pada abad ke 14. Berikutnya dibangun lagi rumah gadang kedua yang konon kisahnya memiliki 13 ruang, tetapi rumah itupun terbakar pada tahun 1804. Kemudian pada tahun 1812 didirikan Rumah gadang Bundo kanduang” “kok sekarang cuma tinggal 3 ruang pak?” tanyaku

Beliau menceritakan karena alasan finansial “ cuma seperti inilah yang mampu kami bangun lagi.”


Sambil mendengarkan cerita, mata kami terus mengelilingi ruangan yang keseluruhannya didominasi warna kuning. Tiang-tiangnya masih asli dan juga dibungkus kain berwarna kuning, menurut amak hal tersebut adalah permintaan moyang mereka yang disampaikan kepada anak perempuannya.

“anak nenek sering didatangi moyang kami dalam mimpinya” kata nenek yang telah berumur 81 tahun ini.

Tiga ruangan yang sekarang diisi dengan beberapa peninggalan-peninggalan lama yang jadi koleksi Rumah Gadang Bundo Kanduang ini lebih tinggi dari lantai rumah. Di ruang tengah terdapat tempat makan raja yang disebut dulang. Diatas Dulang bersusun bermacam ukuran keris dibungkus kain kuning.


“Dulang tampek makan raja ini cuma ada dua di dunia, satunya lagi ada di Tibet” jelas bapak yang terus asyik bercerita kepada kami. Dan amak tersebut menamakannya Dulang Sati.

Cerita tentang raja Minangkabau dan Rumah Gadang Bundo Kanduang terus mengalir. Berkisahlah si bapak tentang silisilah Raja minangkabau dimulai dari Puti Jamilan yang disebutnya sebagai Bundo kanduang yang makamnya terdapat di makam Ustano Rajo Alam. Bapak itu kemudian menunjukkan catatan kecilnya tentang silsilah tersebut.

Puti Jamilan memiliki anak yang bernama Puti Reno Suri. Makam Puti Reno Suri bisa dijumpai di Lunang.

Puti Renosari mempunyai anak laki-laki yang bernama Sultan Rumanduang bergelar Dang Tuanku, iapun dimakamkan di Lunang. Dang Tuanku beristri Puti Bungsu.
Puti Jamilan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Sultan Machmud Alam Dunia, dan adik perempuannya bernama Puti Silinduang Bulan.
Puti Linduang Bulan mempunyai dua orang anak, yaitu Puti Intan Suri dan Sultan Alamsyah Pangulu Rajo.

Selain mendengar cerita tentang riwayat raja Minangkabau menurut versi orang Rumah Gadang Bundo Kanduang, kami juga diperlihatkan koleksi yang merupakan bukti sejarah Islam di ranah minang. Sebuah Al-Qur’an tulisan tangan diperlihatkan kepada kami. Ditulis diatas kertas Pro Patria berhologram. Ada tulisan MAGT yang berarti power atau kekuasaan. Keberadaan Al Qur’an ini diketahui jauh sebelum Agama Islam masuk di ranah Minang.

Meskipun aku dan anggota tim Pulau api tidak mengerti secara persis mengenai sejarah Minangkabau, setidaknya cerita yang disampaikan oleh ahli waris pemilik Rumah Gadang Bundo Kanduang ini menambah khasanah pengetahuanku.

Cerita tentang tiga raja yang memimpin Minangkabau yang kami dengar di dalam Rumah Gadang bundo kanduang ini tidak berbeda dengan yang pernah kubaca mengenai Rajo Tigo Selo yang terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan raja Adat.

Raja Pagaruyung yang memimpin Minangkabau dikenal pula dengan sebutan Raja Alam. Dalam melaksanakan tugasnya raja Alam dibantu oleh Raja Adat yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan adat, Raja Ibadat memutuskan hal-hal yang bersangkutan dengan urusan agama dan pendidikan sedangkan Raja Alam merupakan raja tertinggi yang memutuskan hal-hal berhubungan dengan pemerintahan secara keseluruhan.

Ketiga raja tersebut memiliki daerah kedudukan masing-masing. Raja alam di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo ( Lintau menurut si Bapak) dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.

Cerita tentang ketiga raja tersebut kemudian dihubungkan dengan 3 Pohon beringin yang letaknya tidak jauh dari Rumah Bundo Kanduang.

Katanya: “ Pohon Beringin besar melambangkan Raja Alam, Beringin yang terdapat ditengah melambangkan Raja Adat dan pohon beringin berikutnya yang terdapat disebelah kiri melambangkan Raja Ibadat.”

Puas mendengar kisah Rumah Gadang dan cerita didalamnya kami melanjutkan mengambil beberapa gambar barang-barang peninggalan yang menjadi koleksi rumah ini.

Koleksi:


Tombak Giwang Teratai Putih


Rumah Gadang "Siti Nurbaya", Koto Tuo, Kecamatan Koto Tangah


Kali ini perjalanan wisatanya di Padang dan sekitarnya. Tempat yang menjadi tujuan adalah Rumah Gadang di Lubuk Minturun.

Rumah Gadang Siti Nurbaya.


Rumah adat yang saat ini ditempati oleh taci Dahniar dikenal banyak orang dengan sebutan rumah gadang Siti nurbaya karena rumah ini pernah menjadi lokasi shooting Sinetron Siti Nurbaya beberapa tahun silam.

Rumah yang menurut Taci sudah berusia ratusan tahun masih terlihat kokoh dan terawat, meskipun disana-sini terlihat banyak kayu yang sudah berlubang dimakan rayap. Hampir sebagian besar bagian rumah ini masih asli dan renovasi hanya dilakukan pada bagian yang sudah rusak parah.

Rumah yang secara fisik memang besar (luas ) ini berlokasi di Kota Tuo Kecamatan Koto Tangah Kotamadya Padang, disimpang tidak jauh dari jalan By Pass. Keberadaannya tertutup oleh sebuah lapau yang berjarak tidak jauh dari rumah yang kami tuju. Disebelah lapau tersebut terdapat tanah kosong yang pas untuk kami memarkirkan mobil. Beberapa orang tampak sedang asyik duduk-duduk di lapau, tidak terganggu dengan kedatangan kami seolah sudah mengerti kemana tujuan kami setelah turun dari mobil.

Rumah adat yang disebut sebagai rumah gadang Siti Nurbaya ini agak berbeda dengan rumah gadang yang biasanya bergonjong, meski atapnya melengkung tetapi tidak ada bagian yang lancip seperti tanduk kerbau.

Rumah ini memiliki beranda, dan untuk mencapainya ada janjang yang letaknya persis di tengah bagian depan rumah dengan anak-anak tangga di sisi kanan dan kiri. Bagian janjang juga dilindungi oleh atap yang pada rumah bagonjong biasanya disebut sebagai gonjong janjang. Atap yang manaungi bagian tangga ini berbentu segitiga.

Agak kontras dengan keseluruhan bangunan yang berkonstruksi kayu, bagian tangga ini terbuat dari batu dan memiliki empat pilar seperti rumah modern bergaya Eropa. Warnanya yang kuning gading tampak serasi dengan warna coklat kayu yang seolah menjadi latar belakangnya.

Masih di bagian halaman depan, dekat dengan tangga menuju rumah terdapat bangunan seperti kolam yang disebut sebagai kulah. Secara filosofi keberadaan kulah yang dulu berisi air yang dipergunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah adalah sebagai pelambang penyuci jiwa karena dari dalam rumah akhlak manusia mulai dibentuk, sehingga siapapun yang hendak memasuki rumah harus membersihkan kakinya yang melambangkan pembersihan diri. Saat ini kedua kolam itu sudah tidak berfungsi lagi, tidak berisi air.

Setelah melewati tangga kita akan sampai pada sebuah ruang terbuka. Kami diterima dengan ramah oleh Taci Dahniar di tempat ini, bersantai duduk sambil mendengarkan penuturan beliau tentang rumah gadang yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Ruang tempat kami diterima pertama kali dinamakan ruang Tapi, aku menyebutnya serambi.

Serambi adalah sebuah ruang terbuka seperti balkon yang dibatasi birai, pagar rendah yang memiliki corak hias sederhana. Lantainya terdiri dari papan yang sebagian masih orisinil. Terdapat Kursi dan meja serta bangku panjang yang ditempatkan disisi kanan dan kiri rumah, sebagai tempat orang rumah duduk menerima tamu.

Dinding belakang yang menjadi batas ruang depan dengan ruang tengah ini juga masih asli, terbuat dari kayu yang sekarang sudah banyak berlubang termakan rayap. Ada tonggak yang berasal dari batang pohon, bentuknya tidak lurus, tetapi itu menambah kesan artistik yang unik.

Sambil bercerita, Taci mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat sampai kedalam.

“Masuaklah nak, silahkan lihat-lihat apa yang ingin dilihat” katanya.
“boleh kami ambil gambarnya Taci?” tanyaku yang sebenarnya merupakan permintaan izin. Permintaanku dikabulkan, kamipun masuk.

Antara serambi dan ruang tengah dihubungkan oleh pintu yang nampaknya merupakan pintu utama bagunan rumah.

Ruang tengah tidak terlampau luas, tetapi cukup untuk menampung banyak orang. Ruang ini menurut Taci dahulunya digunakan sebagai tempat kumpul dan bemusyawarah, sekarang nampak lengang hanya satu set kursi dan meja bundar kecil yang mengisi.

Pada bagian lantai yang tepat berada didepan pintu yang akan membawa kita ke ruang dalam terlihat adanya bagian lantai yang memiliki celah memanjang dengan lebar celah yang tidak terlalu besar, mungkin selebar dua jari. Menurut Taci Dahniar, celah ini berfungsi tempat mengalirkan air ke tanah ketika memandikan jenasah anggota keluarga di atas rumah.

Sebagian lantai masih asli dan bagian-bagian yang rusak dan rapuh ditambal dengan tripleks.

Dari ruang tangah kami terus masuk lebih dalam, ke ruangan yang memiliki atap yang tinggi sehingga kesan luas begitu terasa. Ruang ini memiliki beberapa ruang yang masih digunakan sebagai bilik atau kamar.

Beberapa tonggak berdiri d tengah ruang.
Pada mulanya ruangan ini memiliki pagu, loteng tempat penyimpanan, tetapi sekarang sudah dibongkar sehingga ruangan yang tanpa plafon ini semakin kelihatan sangat luas.

Dibagian belakang ruang dalam yang terdiri dari beberapa bilik adalah dapur. Beberapa perabot rumah tergantung disitu.

Melihat keseluruhan arsitektur rumah ini agak sulit bagiku untuk menentukan tipe rumah gadang ini, sebab pengetahuanku tentang rumah gadang baru sebatas tipe rumah gadang dari lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang.

Ada yang bilang ini merupakan rumah adat Rantau Pasisie karena memiliki serambi yang terbuka yang merupakan ciri khasnya. Rasanya ketidaktahuanku agak sedikit beralasan karena memang beberapa tipe rumah adat yang pernah ada dulu sekarang semakin lama semakin dilupakan orang dan tidak popular lagi, misalnya Rumah Adat Tipe “Tungku Nasi”, Rumah Adat “Kanjang Padati” dan Rumah Adat “Dangau Layag-layang”.

Rumah Gadang Minangkabau


Beragam adat dan kebudayaan Minangkabau merupakan asset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Salah satu asset budaya Minangkabau adalah Rumah Gadang, rumah adat yang bukan saja digunakan sebagai tempat tinggal tetapi sekaligus berfungsi sebagai tempat pelaksanaan adat dan tempat berkumpulnya para pemimpin kaum dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat..

Rumah Gadang yang dibangun atas dasar kesepakatan anggota kaum dan dengan persetujuan Panghulu Nagari ini mengandung nilai-nilai filosofis dalam seni dan arsitekturnya.
Secara keseluruhan bangunan ini mencerminkan dan melambangkan semangat kebersamaan dan sekaligus menjadi bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan berbagai kepentingan dan kebutuhan anggota kaum dalam membangun kehidupan yang harmonis, adil dan sejahtera.

Sejarah Minangkabau menurut Tambo

Menelusuri asal-usul sejarah Minangkabau memang agak sulit mengingat sampai sebelum masuknya agama Islam, sistem pencatatan sejarah hampir tidak dikenal di Minangkabau, namun demikian itu bukan berarti bahwa orang Minang sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap asal muasal mereka.
Masyarakat Minang mempunyai cara tersendiri untuk mewariskan dan meninggalkan jejak sejarah mereka, memang bukan melalui budaya tulis menulis yang banyak ditinggalkan melalui prasasti seperti halnya yang kita jumpai pada peninggalan zaman kerajaan Hindu- Budha di Pulau Jawa.

Cerita sejarah masa lalu Alam Minangkabau disampaikan melalui Tambo dalam bentuk cerita yang disampaikan secara lisan yang dalam perjalanan selanjutnya Tambo juga mulai dituliskan dengan menggunakan huruf Arab.
Tambo berisi sejarah pembentukan alam Minangkabau, menguraikan mengenai batas-batasnya dan juga memuat tentang adat, aturan-aturan dan hukum kemasyarakatan.

Meski ada beberbagai versi Tambo yang satu dengan lainnya saling menguatkan, selalu ada kesamaan yang kemudian menjadi ciri khas yang dapat dijumpai pada semua Tambo yang ada, yaitu kisah terbentuknya selalu dimulai dengan cerita mengenai proses pembentukan alam Minangkabau, dan bermula sejak penciptaan manusia pertama, dimana kisah selanjutnya sampai pada cerita zaman Iskandar Zulkarnain pemilik mahkota dari surga yang dibawa oleh nabi Adam.

Iskandar Zulkarnain memiliki 3 orang putra, Yaitu Maharaja Alif (saudara laki-laki tertua ,Sultan dari Rum,Key Dummul Alum), Maharaja Depang (saudara tengah, Maharaja Dempang,Sultan dari Cina, Nour Alum),dan Maharaja Diraja (Saudara termuda, Sultan Dari Minangkabau, Aour Alum).

Setelah kematian ayahandanya, ketiga putra Iskandar Zulkarnain pergi berlayar ke timur dan dalam perjalanan ketiga putra itu berselisih mengenai kepada siapa Mahkota akan diturunkan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan berpisah.

Putra tertua Maharaja Alif meneruskan perjalanan ke Rum, Maharaja Depang pergi ke Cina dan Putra termuda melanjutkan perjalanan ke Pulau Perca, Andalas dan tiba di puncak tertinggi Gunuang Marapi.
Disanalah tempat mukim pertama Sultan (Sri) Maharaja Diraja yang oleh masyarakat Minang sampai saat ini diakui sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Asal-usul adat dan masyarakat Minang ini tergambar dalam gurindam yang masih sering kita dengar, yang bunyi sebagai berikut :


Dari mano dating palito
Dari Telong an batali
Cahayony tarag bamego-mego
Mambayang sampai ka subarang.

Dari mano asa niniek kito
Dari Puncak Gunuang marapi
Urun ka lagundi Nan Baselo
Di Pariangan Padang Panjang.

Dipatah rantieng Sikakau
Dipatah dipasilangkan
Takambang adaik di Minangkabau
Batumpak di Pariangan

Disitulah adaik nan bagantuang
Gantang bareh puluik jo padi
Disitulah adaik bakambang
Bakambang nan indak kuncuik lai.


Dalam tambo alam Minangkabau diriwayatkan bahwa Sri Maharaja Diraja datang dari Tanah Ruum ke Pulau Andalas. Mereka dikabarkan berlayar dengan menggunakan perahu dari kayu jati. Dalam pelayarannya Rombongan Sri Maharaja Diraja melihat gosong yang tersembul dari dalam laut yang ternyata adalah puncak gunung.

Alkisah berlabuhlah rombongan Sri maharaja yang beranggotakan beberapa orang dari kasta Cateri di Puncak Gunuang Marapi dan kemudian membangun kehidupan disana bersama rombongan yang menyertainya. Datang bersama orang-orang itu beberapa orang perempuan yang kita kenal dengan sebutan Harimau Campo, Kucing Hitam, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.

Cerita kehidupan awal masyarakat Minang berasal dari kisah ini. Kisah yang sering kita dengarkan lewat pantun dan dipercaya oleh masyarakat Minang turun temurun, yang bunyinya dalam Bahasa Indonesia seperti dibawah ini :


Dari mana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglung nan berapi
Dimanakah mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Marapi.


Lama berselang Sri Maharaja berserta rombongannya berdiam di puncak gunung Marapi, Allah mengabulkan doa yang sering dipanjatkan Sri Maharaja agar air laut disusutkan. Air lautpun Susut, dataran menjadi semakin bertambah luas, maka berpindahlah rombongan itu ke lereng Gunung Marapi. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Labuhan si Timbago.

Konon kisahnya ditempat inilah pertamakali dibangun sumur sebagai tempat sumber air yang dipergunakan untuk minum dan mandi. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makanan maka mereka membuka sepetak sawah yang disebut dengan sawah satampang baniah. Menurut cerita orang-orang tua dulu yang kemudian diteruskan kepada keturunan-keturunan berikutnya Sawah satampang baniah itu sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan dipercaya merupakan asal-usul padi yang ada sekarang.

Pada kisah lain dinyatakan bahwa Maharaja Diraja turun dari Puncak Merapi setelah air laut surut dan memulai kehidupan baru di Nagari pertama Pariangan Padangpanjang, nagari yang disebut –sebut sebagai ibukota Minangkabau di zaman Purba. Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian mendirikan kerajaan yang dikisahkan sebagai kerajaan Minangkabau pertama di Kota Baru.

Keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan (St Paduko Basa) dan Datuk Perpatih nan Sabatang (Jatang sutan Balun), dua bersaudara berlainan ayah kemudian diangkat menjadi penghulu ketika mereka sudah dewasa dan mewarisi kerajaan ayahnya.
Pada masa mereka didirikan Kerajaan Dusun Tuo setelah berakhirnya kerajaan Koto Baru.

Pada masa itu pula mulai ditetapkan berbagai aturan menyangkut budaya, sistem ketatanegaraan (kenagarian) serta merancang 22 aturan induk yang dikenal sebagai Aturan Adat Minangkabau.

Dalam masa mereka pula wilayah Minangkabau dibagi ke dalam tiga Luhak yang dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo, yaitu :

1. Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangkar,
2. Luhak Agam yang berpusat di Bukittinggidan
3. Luhak Limapuluh Kota dengan pusatnya di Payakumbuh

Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menerapkan sistem pemerintahan adat yang berbeda sehingga sejak saat itu dalam etnis Minangkabau dikenal dua kelarasan yaitu Laras Koto Piliang (kata-kata pilihan) yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis dan Laras Bodi-Caniago (budi yang terhormat) yang lebih demokratis.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.


Asal-usul kata Minangkabau

Kata Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).

Dalam legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan pisau-pisau yang tajam.

Manakala kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang Jawa.

Peristiwa kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.

Rumah Adat Minangkabau

Rumah adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.

Dinding bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah. Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran itu bermotif tumbuh-tumbuhan.

Ada dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada, laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.

Perbedaan kedua rumah Gadang tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian yang menaik pada kedua ujung rumah.

Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.

1. RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan pada tahun 2009. 

2. RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG
Rumah Gadang jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam

3. RUMAH GADANG BAPASEREK
Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh

Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.

BACA: Ragam Rumah Adat di Minangkabau

Asal Mula Nama Nagari Minangkabau



Minangkabau termasuk salah satu nagari (desa) yang berada di wilayah Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini dulunya masih berupa tanah lapang. Namun, tersebab oleh sebuah peristiwa, daerah itu dinamakan Nagari Minangkabau. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau.

Dahulu, di Sumatera Barat, tersebutlah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Rakyatnya senantiasa hidup aman, damai, dan tenteram. Suatu ketika, ketenteraman negeri itu terusik oleh adanya kabar buruk bahwa Kerajaan Majapahit dari Pulau Jawa akan menyerang mereka. Situasi tersebut tidak membuat para punggawa Kerajaan Pagaruyung gentar.

“Musuh pantang dicari, datang pantang ditolak. Kalau bisa dihindari, tapi kalau terdesak kita hadapi,” demikian semboyan para pemimpin Kerajaan Pagaruyung.

Suatu hari, pasukan Kerajaan Majapahit tiba di Kiliran Jao, sebuah daerah di dekat perbatasan Kerajaan Pagaruyung. Di tempat itu pasukan Kerajaan Majapahit mendirikan tenda-tenda sembari mengatur strategi penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung. Menghadapi situasi genting itu, para pemimpin Pagaruyung pun segera mengadakan sidang.

“Negeri kita sedang terancam bahaya. Pasukan musuh sudah di depan mata. Bagaimana pendapat kalian?” tanya sang Raja yang memimpin sidang tersebut.

“Ampun, Paduka Raja. Kalau boleh hamba usul, sebaiknya kita hadapi mereka dengan pasukan berkuda dan pasukan gajah,” usul panglima perang kerajaan.

“Tunggu dulu! Kita tidak boleh gegabah,” sanggah Penasehat Raja, “Jika kita serang mereka dengan pasukan besar, pertempuran sengit pasti akan terjadi. Tentu saja peperangan ini akan menyengsarakan rakyat.”

Suasana sidang mulai memanas. Sang Raja yang bijaksana itu pun segera menenangkannya.

“Tenang, saudara-saudara!” ujar sang Raja, “Saya sepakat dengan pendapat Paman Penasehat. Tapi, apa usulan Paman agar peperangan ini tidak menelan korban jiwa?”

Pertanyaan sang Raja itu membuat seluruh peserta sidang terdiam. Suasana pun menjadi hening. Semua perhatian tertuju kepada Penasehat Raja itu, mereka tidak sabar lagi ingin mendengar pendapatnya. Beberapa saat kemudian, Penasehat Raja itu pun angkat bicara.

“Ampun, Paduka Raja. Untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah, alangkah baiknya jika musuh kita ajak berunding. Kita sambut mereka di perbatasan kemudian berunding dengan mereka. Jika mereka menolak, barulah kita tantang mereka adu kerbau,” ungkap Penasehat Raja.

“Hmmm... ide yang bagus,” kata sang Raja, “Bagaimana pendapat kalian semua?”

“Setuju, Paduka Raja,” jawab seluruh peserta sidang serentak.

Selanjutnya, sang Raja bersama punggawanya pun menyusun strategi untuk mengalahkan musuh tanpa pertumpahan darah. Sang Raja segera memerintahkan kepada putri Datuk Tantejo Garhano untuk menghiasi anak-anak gadisnya dan dayang-dayang istana yang cantik dengan pakaian yang indah. Datuk Tantejo Garhano adalah seorang putri yang memiliki tata krama dan kelembutan. Sifat-sifat itu telah diajarkan oleh Datuk Tantejo Garhano kepada anak-anak gadisnya serta para dayang istana.

Setelah semua siap, Datuk Tantejo Garhano bersama anak-anak gadisnya serta dayang-dayang istana menuju ke perbatasan untuk menyambut kedatangan pasukan musuh. Mereka pun membawa berbagai macam makanan lezat untuk menjamu pasukan Majapahit. Sementara itu, dari kejauhan, pasukan Pagaruyung terlihat sedang berjaga-jaga untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Tak berapa lama setelah rombongan Datuk Tantejo Garhano tiba di perbatasan, pasukan musuh dari Majapahit pun sampai di tempat itu.

“Selamat datang, Tuan-Tuan yang budiman,” sambut Datuk Tantejo Garhano dengan sopan dan lembut. “Kami adalah utusan dari Kerajaan Pagaruyung. Raja kami sangat senang dengan kedatangan Tuan-Tuan di istana. Tapi sebelumnya, silakan dicicipi dulu hidangan yang telah kami sediakan! Tuan-Tuan tentu merasa lapar dan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.”

Melihat perlakuan para wanita cantik itu, pasukan Majapahit menjadi terheran-heran. Mereka sebelumnya mengira bahwa kedatangan mereka akan disambut oleh pasukan bersenjata. Namun, di luar dugaan, ternyata mereka disambut oleh puluhan wanita-wanita cantik yang membawa hidangan lezat. Dengan kelembutan para wanita cantik tersebut, pasukan Majapahit pun mulai goyah untuk melancarkan serangan hingga akhirnya menerima tawaran itu.

Setelah pasukan Majapahit selesai menikmati hidangan dan beristirahat sejenak, Datuk Tantejo Garhano segera mengajak pemimpin mereka ke istana untuk menemui sang Raja.

“Mari, Tuan! Raja kami sedang menunggu Tuan di istana!” bujuk Datuk Tantejo Garhano dengan santun.

“Baiklah, saya akan segera menemui Raja kalian,” jawab pemimpin pasukan itu.

Setiba di istana, Datuk Tantejo Garhano langsung mengantar pemimpin pasukan itu masuk ke ruang sidang. Di sana, sang Raja bersama punggawanya terlihat sedang duduk menunggu.

“Selamat datang, Tuan,” sambut sang Raja, “Mari, silakan duduk!”

“Terima kasih, Paduka,” ucap pemimpin itu.

“Ada apa gerangan Tuan kemari?” tanya sang Raja pura-pura tidak tahu.

“Kami diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Pagaruyung. Kami pun harus kembali membawa kemenangan,” jawab pemimpin itu.

“Oh, begitu,” jawab sang Raja sambil tersenyum, “Kami memahami tugas Tuan. Tapi, bagaimana kalau peperangan ini kita ganti dengan adu kerbau. Tujuannya adalah untuk menghindari pertumpahan darah di antara pasukan kita.”

Pemimpin pasukan Majapahit itu terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menyetujui usulan sang Raja.

“Baiklah, Paduka Raja. Kami menerima tawaran Paduka,” jawab pemimpin itu.

Akhirnya, kedua belah pihak bersepakat untuk beradu kerbau. Jika kerbau milik sang Raja kalah, maka Kerajaan Pagaruyung dinyatakan takluk. Tapi, jika kerbau milik Majapahit kalah, mereka akan dibiarkan kembali ke Pulau Jawa dengan damai.

Dalam kesepakatan tersebut tidak ditentukan jenis maupun ukuran kerbau yang akan dijadikan aduan. Oleh karena ingin memenangi pertandingan tersebut, pasukan Majapahit pun memilih seekor kerbau yang paling besar, kuat, dan tangguh. Sementara itu, sang Raja memilih seekor anak kerbau yang masih menyusu. Namun, pada mulut anak kerbau itu dipasang besi runcing yang berbentuk kerucut. Sehari sebelum pertandingan itu dihelat, anak kerbau itu sengaja dibuat lapar dengan cara dipisahkan dari induknya.

Keesokan harinya, kedua kerbau aduan segera dibawa ke gelanggang di sebuah padang yang luas. Para penonton dari kedua belah pihak pun sedang berkumpul di pinggir arena untuk menyaksikan pertandingan yang akan berlangsung sengit tersebut. Kedua belah pihak pun bersorak-sorak untuk memberi dukungan pada kerbau aduan masing-masing.

“Ayo, kerbau kecil. Kalahkan kerbau besar itu!” teriak penonton dari pihak Pagaruyung.

Dukungan dari pihak pasukan Majapahit pun tak mau kalah.

“Ayo, kerbau besar. Cincang saja anak kerbau ingusan itu!”

Suasana di tanah lapang itu pun semakin ramai. Kedua kerbau aduan telah dibawa masuk ke dalam arena. Suasana pun berubah menjadi hening. Penonton dari kedua belah pihak terlihat tegang. Begitu kedua kerbau tersebut dilepas, kerbau milik Majapahit terlihat beringas dan liar. Sementara itu, anak kerbau milik Pagaruyung segera memburu hendak menyusu pada kerbau besar itu karena mengira induknya.

Tak ayal, perut kerbau milik Majapahit pun terluka terkena tusukan besi runcing yang terpasang di mulut anak kerbau milik Pagaruyung. Setelah beberapa kali tusukan, kerbau milik pasukan Majapahit akhirnya roboh dan terkapar di tanah. Melihat kejadian itu, penonton dari pihak Pagaruyung pun bersorak-sorak gembira.

“Manang kabau..., Manang kabau...,” demikian teriak mereka.

Akhirnya, pasukan Majapahit dinyatakan kalah dalam pertandingan tersebut. Mereka pun diizinkan kembali ke Majapahit dengan damai. Sementara itu, berita tentang kemenangan kerbau Pagarayung tersebar ke seluruh pelosok negeri. Kata “manang kabau” yang berarti menang kerbau pun menjadi pembicaraan di mana-mana. Lama-kelamaan, pengucapan kata “manang” berubah menjadi kata “minang”. Sejak itulah, tempat itu dinamakan Nagari Minangkabau, yaitu sebuah nagari (desa) yang bernama Minangkabau.

Sebagai upaya untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk negeri Pagaruyung merancang sebuah rumah rangkiang (loteng) yang atapnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Konon, rumah itu dibangun di perbatasan, tempat pasukan Majapahit dijamu oleh para wanita-wanita cantik Pagaruyung.

Demikian cerita Asal Mula Nama Nagari Minangkabau dari Sumatra Barat. Cerita di atas hanyalah sebuah legenda yang tidak mesti sesuai dengan fakta sejarah. Terlepas dari benar atau salah cerita di atas, yang penting adalah pesan moral yang terkandung di baliknya. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah bahwa penyelesaian sebuah masalah tidak harus selalu diakhiri dengan kekerasan. Masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh, salah satunya adalah jalan perundingan. (Samsuni/sas/286/10-11)

Diceritakan kembali oleh Samsuni