Beragam adat dan kebudayaan Minangkabau merupakan asset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Salah satu asset budaya Minangkabau adalah Rumah Gadang, rumah adat yang bukan saja digunakan sebagai tempat tinggal tetapi sekaligus berfungsi sebagai tempat pelaksanaan adat dan tempat berkumpulnya para pemimpin kaum dalam melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat..
Rumah Gadang yang dibangun atas dasar kesepakatan anggota kaum dan dengan persetujuan Panghulu Nagari ini mengandung nilai-nilai filosofis dalam seni dan arsitekturnya.
Secara keseluruhan bangunan ini mencerminkan dan melambangkan semangat kebersamaan dan sekaligus menjadi bukti nyata kemampuan adat dalam mempersatukan berbagai kepentingan dan kebutuhan anggota kaum dalam membangun kehidupan yang harmonis, adil dan sejahtera.
Sejarah Minangkabau menurut Tambo
Menelusuri asal-usul sejarah Minangkabau memang agak sulit mengingat sampai sebelum masuknya agama Islam, sistem pencatatan sejarah hampir tidak dikenal di Minangkabau, namun demikian itu bukan berarti bahwa orang Minang sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap asal muasal mereka.
Masyarakat Minang mempunyai cara tersendiri untuk mewariskan dan meninggalkan jejak sejarah mereka, memang bukan melalui budaya tulis menulis yang banyak ditinggalkan melalui prasasti seperti halnya yang kita jumpai pada peninggalan zaman kerajaan Hindu- Budha di Pulau Jawa.
Cerita sejarah masa lalu Alam Minangkabau disampaikan melalui Tambo dalam bentuk cerita yang disampaikan secara lisan yang dalam perjalanan selanjutnya Tambo juga mulai dituliskan dengan menggunakan huruf Arab.
Tambo berisi sejarah pembentukan alam Minangkabau, menguraikan mengenai batas-batasnya dan juga memuat tentang adat, aturan-aturan dan hukum kemasyarakatan.
Meski ada beberbagai versi Tambo yang satu dengan lainnya saling menguatkan, selalu ada kesamaan yang kemudian menjadi ciri khas yang dapat dijumpai pada semua Tambo yang ada, yaitu kisah terbentuknya selalu dimulai dengan cerita mengenai proses pembentukan alam Minangkabau, dan bermula sejak penciptaan manusia pertama, dimana kisah selanjutnya sampai pada cerita zaman Iskandar Zulkarnain pemilik mahkota dari surga yang dibawa oleh nabi Adam.
Iskandar Zulkarnain memiliki 3 orang putra, Yaitu Maharaja Alif (saudara laki-laki tertua ,Sultan dari Rum,Key Dummul Alum), Maharaja Depang (saudara tengah, Maharaja Dempang,Sultan dari Cina, Nour Alum),dan Maharaja Diraja (Saudara termuda, Sultan Dari Minangkabau, Aour Alum).
Setelah kematian ayahandanya, ketiga putra Iskandar Zulkarnain pergi berlayar ke timur dan dalam perjalanan ketiga putra itu berselisih mengenai kepada siapa Mahkota akan diturunkan yang pada akhirnya membuat mereka memutuskan berpisah.
Putra tertua Maharaja Alif meneruskan perjalanan ke Rum, Maharaja Depang pergi ke Cina dan Putra termuda melanjutkan perjalanan ke Pulau Perca, Andalas dan tiba di puncak tertinggi Gunuang Marapi.
Disanalah tempat mukim pertama Sultan (Sri) Maharaja Diraja yang oleh masyarakat Minang sampai saat ini diakui sebagai nenek moyang orang Minangkabau.
Asal-usul adat dan masyarakat Minang ini tergambar dalam gurindam yang masih sering kita dengar, yang bunyi sebagai berikut :
Dari mano dating palito
Dari Telong an batali
Cahayony tarag bamego-mego
Mambayang sampai ka subarang.
Dari mano asa niniek kito
Dari Puncak Gunuang marapi
Urun ka lagundi Nan Baselo
Di Pariangan Padang Panjang.
Dipatah rantieng Sikakau
Dipatah dipasilangkan
Takambang adaik di Minangkabau
Batumpak di Pariangan
Disitulah adaik nan bagantuang
Gantang bareh puluik jo padi
Disitulah adaik bakambang
Bakambang nan indak kuncuik lai.
Alkisah berlabuhlah rombongan Sri maharaja yang beranggotakan beberapa orang dari kasta Cateri di Puncak Gunuang Marapi dan kemudian membangun kehidupan disana bersama rombongan yang menyertainya. Datang bersama orang-orang itu beberapa orang perempuan yang kita kenal dengan sebutan Harimau Campo, Kucing Hitam, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.
Cerita kehidupan awal masyarakat Minang berasal dari kisah ini. Kisah yang sering kita dengarkan lewat pantun dan dipercaya oleh masyarakat Minang turun temurun, yang bunyinya dalam Bahasa Indonesia seperti dibawah ini :
Dari mana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglung nan berapi
Dimanakah mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Marapi.
Konon kisahnya ditempat inilah pertamakali dibangun sumur sebagai tempat sumber air yang dipergunakan untuk minum dan mandi. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan makanan maka mereka membuka sepetak sawah yang disebut dengan sawah satampang baniah. Menurut cerita orang-orang tua dulu yang kemudian diteruskan kepada keturunan-keturunan berikutnya Sawah satampang baniah itu sudah mencukupi kebutuhan hidup mereka, dan dipercaya merupakan asal-usul padi yang ada sekarang.
Pada kisah lain dinyatakan bahwa Maharaja Diraja turun dari Puncak Merapi setelah air laut surut dan memulai kehidupan baru di Nagari pertama Pariangan Padangpanjang, nagari yang disebut –sebut sebagai ibukota Minangkabau di zaman Purba. Sultan Sri Maharajo Dirajo, kemudian mendirikan kerajaan yang dikisahkan sebagai kerajaan Minangkabau pertama di Kota Baru.
Keturunan Maharaja Diraja, Datuk Katumanggungan (St Paduko Basa) dan Datuk Perpatih nan Sabatang (Jatang sutan Balun), dua bersaudara berlainan ayah kemudian diangkat menjadi penghulu ketika mereka sudah dewasa dan mewarisi kerajaan ayahnya.
Pada masa mereka didirikan Kerajaan Dusun Tuo setelah berakhirnya kerajaan Koto Baru.
Pada masa itu pula mulai ditetapkan berbagai aturan menyangkut budaya, sistem ketatanegaraan (kenagarian) serta merancang 22 aturan induk yang dikenal sebagai Aturan Adat Minangkabau.
Dalam masa mereka pula wilayah Minangkabau dibagi ke dalam tiga Luhak yang dikenal dengan sebutan Luhak Nan Tigo, yaitu :
1. Luhak Tanah Datar yang berpusat di Batusangkar,
2. Luhak Agam yang berpusat di Bukittinggidan
3. Luhak Limapuluh Kota dengan pusatnya di Payakumbuh
Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang menerapkan sistem pemerintahan adat yang berbeda sehingga sejak saat itu dalam etnis Minangkabau dikenal dua kelarasan yaitu Laras Koto Piliang (kata-kata pilihan) yang sistem pemerintahannya bersifat otokratis dan Laras Bodi-Caniago (budi yang terhormat) yang lebih demokratis.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.
Asal-usul kata Minangkabau
Kata Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).
Dalam legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan pisau-pisau yang tajam.
Manakala kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang Jawa.
Peristiwa kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.
Rumah Adat Minangkabau
Rumah adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.
Dinding bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah. Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran itu bermotif tumbuh-tumbuhan.
Ada dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada, laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.
Perbedaan kedua rumah Gadang tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian yang menaik pada kedua ujung rumah.
Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.
1. RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan pada tahun 2009.
Kedua kelarasan tersebut memberi pengaruh pula pada arsitektur dan bangunan rumah adat mereka.
Asal-usul kata Minangkabau
Kata Minangkabau yang sering digunakan sekarang dikaitkan dengan peristiwa adu kerbau dimana kerbau orang minang menang dalam pertarungan itu (menang kerbau).
Dalam legenda masa lalu dikisahkan bahwa pada zaman dahulu, diadakan adu kerbau sebagai bentuk perjanjian untuk menghindarkan serangan-serangan orang Jawa terhadap orang Minang. Kerbau yang digunakan oleh orang jawa pada adu kerbau tersebut adalah kerbau yang besar, sementara orang Minang saat itu mengalami kesulitan untuk mendapatkan kerbau yang seukuran kerbau orang Jawa, namun ini tidak menjadi kecemasan bagi orang Minang, karena kecerdikannya disiapkan anak kerbau yang masih menyusu dan dibiarkan kehausan dan pada tanduknya dipasangkan pisau-pisau yang tajam.
Manakala kedua kerbau yang berbeda ukuran ini berhadapan di dalam satu gelanggang, anak kerbau milik orang Minangkabau menganggap kerbau besar yang ada di depannya adalah induknya, maka kerbau kecil itupun berlari ke arah kerbau besar, hendak menyusu maksudnya, namun malang bagi kerbau besar, kerbau kecil yang menyurukkan kepalanya untuk menyusu membuat pisau yang ada di tanduknya melukai bagian perut kerbau besar dan mengakibatkan luka-luka yang berakhir pada kematian kerbau milik orang Jawa, yang menandakan kemenangan bagi kerbau kecil itu dan dengan demikian orang Minangkabau terselamatkan dari serangan orang Jawa.
Peristiwa kemenangan yang legendaris itu kemudian diabadikan pada bentuk atap rumah adat Minangkabau yang menyerupai tanduk kerbau.
Rumah Adat Minangkabau
Rumah adat yang berasitektur kayu, berpanggung dan memiliki atap yang menyerupai tanduk kerbau ini ditopang oleh sejumlah tiang dari kayu besi, atapnya menggunakan bahan ijuk yang berwarna hitam, namun sebenarnya sejak dulu pun sudah ada rumah gadang yang atapnya terbuat dari seng seperti yang banyak kita jumpai sekarang.
Dinding bagian luar rumah tersusun dari kayu berukir dengan warna-warni yang cerah. Motif ukiran bermacam-macam, meskipun tidak mengandung makna khusus kecuali semata untuk keindahan, umumnya ukiran bermotifkan benda alam raya, biasanya ukiran-ukiran itu bermotif tumbuh-tumbuhan.
Ada dua tipe rumah gadang yang merujuk pada sistem adat dalam kelarasan yang ada, laras Koto Piliang dan Laras Bodi-Caniago yang berkaitan dengan kedua Datuk , Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan yang mendirikan kerajaan Dusun Tuo.
Perbedaan kedua rumah Gadang tersebut bisa dilihat dari bangunan lantainya dimana rumah gadang Lareh Bodi Caniago seluruh lantainya rata tidak ada bagian yang lebih tinggi seperti yang terlihat pada rumah gadang Lareh Koto Piliang yang memiliki anjung atau bagian yang menaik pada kedua ujung rumah.
Dalam naskah yang disusun oleh Nusjirwan A dan staf BPSK disebutkan ada tiga tipe rumah gadang.
1. RUMAH GADANG GAJAH MAHARAM
Disebut sebagai rumah gadang gajah maharam karena katanya rumah ini memiliki bentuk seperti gajah yang sedang mendekam (Maharam=mendekam). Rumah Gadang ini memiliki bagian yang lebih tinggi dari lantai rumah disebelah ujung kanan dan kiri dari pintu masuk. Bagian yang lebih tinggi tersebut dinamakan anjung, sehingga ada yang menyebut tipe rumah gadang ini dengan sebutan Rumah Baanjuang.
Rumah Baanjuang masih bisa kita temukan di Padang Panjang, miliki kaum Dt Tan Majolelo yang pernah menjadi peserta terbaik I pada lomba penataan perkarangan Rumah Gadang se Sumatera Barat yang diselenggarakan pada tahun 2009.
2. RUMAH GADANG RAJO BABANDIANG
Rumah Gadang jenis ini tidak memiliki anjuang dan atapnya lebih tinggi dari Rumah Gadang tipe Gajah Maharam
3. RUMAH GADANG BAPASEREK
Rumah gadang ini hanya memiliki satu anjuang di sebelah kiri dan bagian yang ditinggikan tersebut dinamakan Tingkah atau Tindieh
Rumah Gadang ini bisa ditemukan di Kenagarian Koto Nan Ampek Payakumbuh, bangunannya memiliki bagian yang diseret sehingga ada bagian yang menonjol di belakang atau disamping. Bagian belakang yang diseret digunakan sebagai kamar, sedangkan yang disamping digunakan sebagai dapur.
BACA: Ragam Rumah Adat di Minangkabau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar