Rumah Gadang Bundo Kanduang
Rumah Gadang Bundo Kanduang yang terdapat di Gudam Pagaruyuang ini seperti memanggil kami untuk singgah. Dua tahun lalu ketika Tim Pulau Api berwisata ke Tanah Datar, rumah ini tak sempat kami kunjungi. Kami terlalu asyik menikmati prasasti peninggalan sejarah yang berkaitan dengan Adityawarman serta batu batikam yang menyimpan cerita tentang Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang.
Hal lain yang menyebabkan rumah ini luput kami liput adalah karena tidak banyak informasi yang kami dapat mengenai rumah gadang ini, sepertinya rumah ini tidak menjadi salah satu obyek wisata disana padahal tempatnya berseberangan dengan prasasti Adityawarman dan dekat dengan obyek wisata lainnya, memang tidak ada papan pemberitahuan yang menyebutkan rumah ini adalah situs cagar budaya.
Namun kali ini kami sengaja mendatanginya, ada semacam kekuatan yang menarik rasa rindu untuk berkunjung. Masih seperti duatahun lalu, rumah ini tetap terkunci seolah menyendiri. Halamannya luas namun bersih dan tertata rapi, terlihat sekali bahwa rumah ini sangat terurus meski tak sepeserpun mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten. Pemilik rumah menjaga dan merawatnya sepenuh hati dengan kemampuan yang dimiliki.
Di halaman kiri depan tedapat papan yang bertuliskan “Rumah Gadang Bunda Kanduang, Batu Basurek Gudam Pagaruyung, Jl Sultan Alam Bagagarsyah No 155, Batusangkar”, dan dihalaman depan sebelah kanan terdapat batu besar yang sepertinya untuk tempat duduk bersandar, serupa seperti yang terdapat di Medan bapaneh, tempat bermusyawarah jaman dahulunya.
Meski pun pintu gerbang terkunci, hal tersebut tidak menyebabkan kami berpikir untuk membatalkan rencana yang i sudah terpatri di hati, maka dengan suara lantang, aku menyuarakan salam “Assalamualaikum….”, dua kali salam aku ulang, keluarlah seorang wanita tua membawa kunci dan membuka pagar, segera aku salami tangannya seraya mencium punggung tangannya. “lai sihaik Mak?”
Meskipun mungkin beliau bingung dalam hati, tetapi dijawabnya juga pertanyaanku sambil mempersilahkan kami menuju rumah gadang. Anak laki-lakinya kemudian membuka pintu rumah gadang dan menganjurkan kami untuk langsung naik ke rumah.
“Masuak lah Nak…” kata perempuan yang aku panggil dengan sebutan amak itu dengan ramah tanpa sedikitpun bertanya siapa kami sebenarnya.
Baru saja kami duduk, kami lantas disuguhi cerita tentang rumah gadang ini, beliau tentunya sudah mengira maksud kedatangan kami. Rumah Gadang Bundo Kanduang menurut cerita yang dikisahkan oleh anak laki-laki amak itu adalah tempat asal usul Raja Pagaruyuang.
“Kerajaan asli Pagaruyuang ya ini, disini…di Ranah Kampuang Dalam, Gudam Pagaruyuang”
Rumah Gadang ini hanya memiliki tiga ruang, tak lazim memang, karena biasanya rumah gadang memiliki Sembilan ruang. Namun keheranan kami segera terjawab oleh cerita yang dituturkan kemudian.
“daulu (dulu) rumah ini memiliki Sembilan ruang, tetapi rumah gadang pertama telah terbakar pada abad ke 14. Berikutnya dibangun lagi rumah gadang kedua yang konon kisahnya memiliki 13 ruang, tetapi rumah itupun terbakar pada tahun 1804. Kemudian pada tahun 1812 didirikan Rumah gadang Bundo kanduang” “kok sekarang cuma tinggal 3 ruang pak?” tanyaku
Beliau menceritakan karena alasan finansial “ cuma seperti inilah yang mampu kami bangun lagi.”
Sambil mendengarkan cerita, mata kami terus mengelilingi ruangan yang keseluruhannya didominasi warna kuning. Tiang-tiangnya masih asli dan juga dibungkus kain berwarna kuning, menurut amak hal tersebut adalah permintaan moyang mereka yang disampaikan kepada anak perempuannya.
“anak nenek sering didatangi moyang kami dalam mimpinya” kata nenek yang telah berumur 81 tahun ini.
Tiga ruangan yang sekarang diisi dengan beberapa peninggalan-peninggalan lama yang jadi koleksi Rumah Gadang Bundo Kanduang ini lebih tinggi dari lantai rumah. Di ruang tengah terdapat tempat makan raja yang disebut dulang. Diatas Dulang bersusun bermacam ukuran keris dibungkus kain kuning.
“Dulang tampek makan raja ini cuma ada dua di dunia, satunya lagi ada di Tibet” jelas bapak yang terus asyik bercerita kepada kami. Dan amak tersebut menamakannya Dulang Sati.
Cerita tentang raja Minangkabau dan Rumah Gadang Bundo Kanduang terus mengalir. Berkisahlah si bapak tentang silisilah Raja minangkabau dimulai dari Puti Jamilan yang disebutnya sebagai Bundo kanduang yang makamnya terdapat di makam Ustano Rajo Alam. Bapak itu kemudian menunjukkan catatan kecilnya tentang silsilah tersebut.
Puti Jamilan memiliki anak yang bernama Puti Reno Suri. Makam Puti Reno Suri bisa dijumpai di Lunang.
Puti Renosari mempunyai anak laki-laki yang bernama Sultan Rumanduang bergelar Dang Tuanku, iapun dimakamkan di Lunang. Dang Tuanku beristri Puti Bungsu.
Puti Jamilan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Sultan Machmud Alam Dunia, dan adik perempuannya bernama Puti Silinduang Bulan.
Puti Linduang Bulan mempunyai dua orang anak, yaitu Puti Intan Suri dan Sultan Alamsyah Pangulu Rajo.
Selain mendengar cerita tentang riwayat raja Minangkabau menurut versi orang Rumah Gadang Bundo Kanduang, kami juga diperlihatkan koleksi yang merupakan bukti sejarah Islam di ranah minang. Sebuah Al-Qur’an tulisan tangan diperlihatkan kepada kami. Ditulis diatas kertas Pro Patria berhologram. Ada tulisan MAGT yang berarti power atau kekuasaan. Keberadaan Al Qur’an ini diketahui jauh sebelum Agama Islam masuk di ranah Minang.
Meskipun aku dan anggota tim Pulau api tidak mengerti secara persis mengenai sejarah Minangkabau, setidaknya cerita yang disampaikan oleh ahli waris pemilik Rumah Gadang Bundo Kanduang ini menambah khasanah pengetahuanku.
Cerita tentang tiga raja yang memimpin Minangkabau yang kami dengar di dalam Rumah Gadang bundo kanduang ini tidak berbeda dengan yang pernah kubaca mengenai Rajo Tigo Selo yang terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan raja Adat.
Raja Pagaruyung yang memimpin Minangkabau dikenal pula dengan sebutan Raja Alam. Dalam melaksanakan tugasnya raja Alam dibantu oleh Raja Adat yang mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan adat, Raja Ibadat memutuskan hal-hal yang bersangkutan dengan urusan agama dan pendidikan sedangkan Raja Alam merupakan raja tertinggi yang memutuskan hal-hal berhubungan dengan pemerintahan secara keseluruhan.
Ketiga raja tersebut memiliki daerah kedudukan masing-masing. Raja alam di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo ( Lintau menurut si Bapak) dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus.
Cerita tentang ketiga raja tersebut kemudian dihubungkan dengan 3 Pohon beringin yang letaknya tidak jauh dari Rumah Bundo Kanduang.
Katanya: “ Pohon Beringin besar melambangkan Raja Alam, Beringin yang terdapat ditengah melambangkan Raja Adat dan pohon beringin berikutnya yang terdapat disebelah kiri melambangkan Raja Ibadat.”
Puas mendengar kisah Rumah Gadang dan cerita didalamnya kami melanjutkan mengambil beberapa gambar barang-barang peninggalan yang menjadi koleksi rumah ini.
Koleksi:
Tombak Giwang Teratai Putih
1 komentar:
Misteri tentang siapa sesungguhnya Bundo Kanduang akhrnya terkuak juga...
Surau berasal dari phonetic spelling kata Ibrani “sawraw” yang mengacu pada Sarah, istri Nabi Ibrahim AS atau ibu dari Nabi Ishak AS.
Oleh karena itu, dari segi studi linguistik dapat disimpulkan bahwa kata surau lazim digunakan oleh keturunan Bani Ishak, paman moyang bangsa Arab.
Al Quran menyebutkan Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri yakni Siti Sarah yang melahirkan Nabi Ishak AS dan Siti Hajar yang melahirkan Nabi Ismail AS.
Baca selanjutnya: http://www.surau.net/wp/definisi-surau/
Posting Komentar