Rabu, Mei 7

Masakan Padang?

Masakan Padang itu seperti apa sih?
Masakan Padang, sebenarnya ini penamaan yang kurang tepat. Karena Padang hanyalah sebuah kota di tepi pantai barat pulau Sumatera, yang saat ini menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat. Sementara asal usul “masakan Padang” atau lebih tepatnya masakan tradisional Minang itu berasal dari daerah “darek” atau daerah yang tidak bersinggungan langsung dengan pantai pulau Sumatera. Makanya saat ini banyak diantara “Restoran atau Rumah Makan Padang” ini yang mengganti tagline tempat usaha mereka dengan judul Masakan Minang

Lalu, manakah yang termasuk daerah “darek” yang dimaksudkan itu? Bila kita telusuri lebih jauh berdasarkan sejarah Minangkabau maka darek yang dimaksudkan itu adalah Luhak Nan Tigo, yaitu Agam, Limapuluh Kota dan Tanah Datar. Namun dalam perkembangan system administrasi pemerintahan yang semakin berkembang sejak kemerdekaan Republik Indonesia, ketiga Luhak itu telah terbagi menjadi beberapa kabupaten dan kotamadya. Termasuk daerah pesisir pantai Sumatera, seperti Pariaman, Pesisir Selatan dan pulau-pulau di sekitar kepulauan Mentawai.

Kembali ke topik semula. Mulai dari cikal bakal Luhak Nan Tigo inilah masakan tradisional Minang ini terangkat kepermukaan. Penduduk Minang yang terkenal dengan jiwa berdagangnya ini, mulai membuka warung nasi sederhana yang menyediakan masakan khas asli daerah mereka, di pasar-pasar nagari atau kampung. Sementara yang berdekatan dengan perkotaan, membuka rumah makan di kota mereka.

Lado Tanak dengan kombinasi daun singkong dan petai

Lalu kenapa ciri khas masakan Minang ini adalah pedas? Kita ketahui bahwa daerahLuhak Nan Tigo ini berada di daerah pergunungan bukit barisan. Bukittinggi, Padang Panjang dan Batusangkar ada di kaki Gunung Merapi dan Singgalang. Sementara Payakumbuh ada di kaki Gunung Sago, Solok ada di kaki Gunung Talang, keselatannya lagi ada Gunung Kerinci.

Di kelilingi gunung, maka daerah Minang ini tentu barada di wilayah yang bercuaca dingin. Bagi penduduk yang berada di daerah yang sekelilingnya berhawa dingin ini, tentu dibutuhkan sesuatu yang hangat. Untuk menghangatkan badan, maka dibutuhkanlah sesuatu yang menimbulkan rasa hangat dan kalau bisa mengeluarkan keringat. Maka resep yang jitu untuk itu adalah, cabai. Orang Minang menyebutnya “lado”.

Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan sayuran berkalori tinggi inilah, mengapa penduduk Minang secara tradisional memakai cabai dalam setiap masakan mereka. Mereka membutuhkan itu untuk melawan dinginnya udara pegunungan yang menyergap pori-pori tubuh mereka setiap hari.

Samba lado, demikian orang Minang menyebut ulegan cabai yang terhidang di atas piring. 

Apakah itu cabai muda yang masih hijau yang disebut sebagai lado mudo, atau cabai yang sudah matang dan berwarna merah yang disebut sebagi lado sirah.Samba lado ini boleh dikatakan selalu hadir pada setiap rumah makan Minang atau restoran Padang yang bertebaran di seluruh pelosok Nusantara. Umumnya mereka memberikannya gratis bila anda makan dengan sajian nasi ramas lengkap dalam satu piring, dan baru akan memasukkannya ke daftar tagihan, bila anda makan dengan sajian hidangan lengkap di atas meja.

Dari uraian diatas, secara tradisional orang Minang tidak mengenal masakan dengan aroma dan bumbu yang rasanya manis. Makanya kemanapun kita pergi, tak satupun masakan Minang itu yang memakai kecap. Walaupun hidangan itu berbentuk Soto ataupun Sop.

Tapi saat ini, dengan semakin banyaknya variasi hidangan. Beberapa rumah makan Minang yang berada di perantauan, sudah ada yang memakai kecap diantara hidangan tambahan mereka. Tapi kecap ini baru akan diberikan bila anda memintanya, tidak dihidangkan serta merta di saat makanan itu disajikan di hadapan anda. Tapi saya pastikan, apa yang mereka sajikan itu bukanlah masakan asli yang berasal dari taradisi kuliner Minang. Itu hanya varian dari sebagian kecil dari rumah makan atau restoran Minang yang berada di luar wilayah tradisional Minangkabau. Untuk menjawab tantangan maupun permintaan pasar, atau untuk menyelaraskan diri dengan situasi lingkungan dimana mereka berusaha.

Nasi Kapau, salah satu warung tradisional di Bukittinggi




Tidak ada komentar: