Kamis, Mei 1

Aisyah Aminy.SH, Perempuan Baja Vokalis Senayan


Perempuan Baja Vokalis Senayan
Di saat dunia politik dimonopoli kaum laki-laki, ia tampil ke depan. Bukan saja seorang parlementarian yang terampil berdebat, ia juga seorang pejuang gender yang tak kenal lelah. Siapapun yang melek politik, pasti mengenal nama Hj. Aisyah Aminy, SH, di kancah perpolitikan Tanah Air. Bertahun-tahun berkecimpung di dunia partai dan legislatif, perempuan ini punya banyak nama julukan. Singa Betina dari Senayan, Perempuan Baja dari Senayan, Vokalis DPR dan sebagainya. Politisi wanita kawakan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menerima anugerah Bintang Jasa Utama dari pemerintah pada HUT Kmerdekaan RI ke-59 17 Agustus 2004. Walau sudah memasuki usia anugerah di atas 70 tahun, wanita kelahiran Padang Panjang,

Sumatera Barat 1 Desember 1931 ini masih tetap lantang memperjuangkan memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya termasuk jatah kuota 30 persen perempuan di parlemen.

Dia, bersama tokoh-tokoh wanita lainnya mendirikan Kaukus Perempuan untuk tujuan dimaksud. Ia tampak tak keberatan. Dalam pemikirannya hanyalah bagaimana dirinya dapat mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin untuk bangsa dan negara. Selain kiprahnya di dunia politik melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang turut dibesarkannya, ia juga punya peran yang sangat besar di bidang emansipasi perempuan. Ketika isu gender baru mencuat, nama Aisyah bahkan sudah duluan disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah publik. Hal itu tidak mengherankan, karena sejak baru belajar berorganisasi, Aisyah sudah merasakan ketidakseimbangan peran perempuan di luar bidang domestik atau rumah tangga.

Aisyah ingin perempuan juga punya kesempatan yang sama dalam segala bidang. Maka, ia pun berjuang memasukkan pasal-pasal kesetaraan gender dalam berbagai rancangan undang-undang maupun dalam prinsip-prinsip partainya yang bernafaskan Islam. Aisyah dididik keluarganya dalam lingkungan yang religius, yang terus terbawa dalam setiap tindakan, prinsip dan pemikirannya sampai masa tuanya. Sejak muda, Aisyah sudah belajar berorganisasi. Di masa perang kemerdekaan, seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP), bahkan menjadi wartawan perang Sumatera Tengah. Kemudian, Aisyah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang dideklarasikan 5 Februari 1947 di kampus Universitas Islam Yogyakarta (sekarang Universitas Islam Indonesia/UII) dimana ia menuntut ilmu.

Dedikasinya untuk kemajuan bangsa diwujudkan dengan menyisihkan waktu menjadi guru di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Puteri Yogyakarta. Tahun 1955, ia juga mengajar di SMA Puteri Yogyakarta dan menjadi dosen di Universitas Tjokroaminoto Yogyakarta dua tahun kemudian. Meski sibuk mengajar, perkuliahannya tidak terganggu. Tahun 1957, ia lulus dan menjadi perempuan pertama di Indonesia yang meraih gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum). Aisyah juga dikenal dekat dengan para tokoh nasional. Selain dengan Mr. Mohammad Roem, di mana Aisyah menjadi anggota tim advokasinya, juga dekat dengan Buya HAMKA. Pada bulan April, ia bersama Anwar Haryono SH, Djamaludin Datuk Singo Mangkuto SH, Dr a Halim, Hasjim Mahdan SH, Harjono Tjitrosubono SH, Hadely Hasibuan SH, Padmo Susanto SH, Sudjono SH, Suroto SH, Drs Syarif Usman, Dr AM Tambunan SH dan Thamrin Manan SH, mendirikan lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LP HAM).

Kiprah di parlemen Pada tanggal 20 Februari 1968, Presiden Soeharto mengesahkan berdirinya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini menampung aspirasi ormas-ormas Islam, misalnya Muhammadiyah, Jamiyatul Wasliyah, Gasbindo, Persatuan Guru-guru Agama Seluruh Indonesia, bahkan Wanita Islam. Sejak awal, Aisyah terlibat dalam pembentukan Parmusi yang saat itu ketua umumnya adalah Moh. Roem. Aisyah masuk dalam kepengurusannya sampai 1970, saat kepemimpinan diambil-alih J Naro. Tahun 1973, empat partai Islam (termasuk Parmusi) difusikan ke dalam PPP. Karena keaktifan Aisyah di Parmusi, kemudian PPP, membawanya ke kancah perpolitikan di Senayan, sebagai anggota MPR RI periode 1977-1987.

Bersama fraksinya ketika itu, Aisyah ikut menentang Rancangan Ketetapan MPR No. II tahun 1978. Alasannya, jika Rantap itu menjadi Tap MPR, masyarakat akan mengkeramatkan Pancasila secara berlebihan dan mengesampingkan agama yang dianutnya. Periode 1987-1992, Aisyah menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia duduk di Komisi II yang membidangi masalah politik dalam negeri dan pertanahan. Di masa jabatannya ini, Aisyah banyak melontarkan kritik terhadap pemerintah, di antaranya disampaikan langsung dalam dialognya dengan Menteri Dalam Negeri, agar pemerintah tidak memaksa rakyat memilih Golkar. Memang, akibat pemaksaan kehendak ini, dampaknya sangat terasa terhadap PPP. Dari soal mempersulit mengambil rapor anak sampai teror dialami para kader PPP.

Hal inilah yang ditentang Aisyah ketika itu. Sebab, jelas-jelas terlihat ada upaya pengerdilan PPP secara sistematis, sehingga sulit mengembangkan partai dan merekrut kader-kader baru. Aisyah dan partainya juga menentang keharusan pegawai negeri memilih Golkar dan larangan pemerintah kepada partai-partai politik untuk berkiprah di desa-desa, kecuali Golkar. Bukan Aisyah namanya kalau ia tidak berusaha untuk mengembangkan pemikirannya di tataran yang lebih tinggi. Pada proses penyiapan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Aisyah sering diundang Sekjen Wakahamnas. Di masa Orde Baru, GBHN selalu berasal dari presiden. Begitu GBHN masuk dalam tingkat pembahasan di MPR, akan sulit mengubahnya.

Sebelumnya ide-ide tentang GBHN ini didiskusikan dulu pada pertemuan terbatas dengan ormas, partai-partai politik, kalangan birokrasi dan kalangan kampus oleh Wakahamnas. Lewat pembahasan-pembahasan itulah Aisyah berusaha memasukkan ide-idenya ke dalam GBHN. Namun saking sulitnya, kalau pun ide-ide itu masuk, hanya sebatas hal-hal yang umum dan bukan hal-hal strategis. Salah satu yang disoroti Aisyah dan fraksinya ketika itu adalah Trilogi Pembangunan, yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. F-PP menginginkan GBHN menitikberatkan pada pemerataan. Tapi pemerintah malah menitikberatkan pertumbuhan, yang ditandai dengan pembangunan di kota-kota besar dengan peningkatan sampai tujuh persen.

Padahal, menurut Aisyah, daerah-daerah justru sangat tertinggal pertumbuhannya dan perekonomiannya sangat rendah. Itulah sebabnya, ia lebih setuju jika yang dikedepankan adalah pemerataan. Aisyah bahkan mengangkat isu transmigrasi yang ketika itu sedang digalakkan pemerintah. Menurutnya, sentralisasi pembangunan di Jawa membuat program transmigrasi tidak berhasil, karena lebih banyak orang daerah yang datang ke Jawa dibandingkan orang Jawa yang bertransmigrasi ke daerah. Masih belum cukup, perempuan yang pernah menjadi anggota Komnas HAM ini mengkritik masalah pertanahan, dimana pemerintah seringkali mengambil paksa tanah rakyat tanpa ganti rugi. Juga dikritiknya gaji pegawai negeri yang rendah. Gaji yang tidak mencukupi kebutuhan ini menjadi pemicu korupsi.

Masih dipercaya Tahun 1992-1997, Aisyah dipercaya lagi sebagai anggota DPR/MPR RI dan duduk di Komisi I. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan dipercaya sebagai ketua Komisi I yang ketika itu membidangi pertahanan, keamanan, luar negeri dan penerangan. Periode 1997-1999, ia kembali dipercaya sebagai ketua Komisi I. Hal ini amat berkesan bagi dirinya, karena komisi ini terkenal ‘berat’ dan ia adalah perempuan pertama yang menjadi ketua komisi ini. Apalagi dirinya berasal dari partai Islam, yang seringkali menimbulkan kesan kurang memberikan kesempatan pada kaum perempuan.

Selama di Komisi I, Aisyah banyak melontarkan kritik, saran dan gugatan. Suaranya yang lantang dan argumentasinya yang tajam dalam rapat-rapat komisi maupun rapat pleno sangat dikenal. Bahkan, orang tidak perlu melihat siapa yang berbicara, karena sudah mengenal suara dan gaya bicaranya. Aisyah mengkritik tindakan represif TNI di Aceh dan Papua, tempat-tempat perjudian yang di-backing pejabat dan aparat keamanan, peredaran Narkoba, bahkan UU Pers, khususnya Peraturan Menteri Penerangan No. 10 tahun 1984 yang memasung kebebasan pers, juga undang-undang perfilman yang menyulitkan para sineas berkreasi.

Ia bahkan dengan berani mengkritik kenetralan TNI/Polri (dulu masih bernama ABRI) yang kala itu sangat memihak Golkar. Tak tanggung-tanggung, kritik itu disampaikan langsung saat pertemuan pimpinan partainya dengan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno. Kawan-kawannya mengenal Aisyah sebagai anggota Dewan yang sering turun langsung ke daerah. Di sana, ia bertemu langsung dengan rakyat dan mendengarkan keluhan mereka. Semua itu tidak hanya diendapkan, melainkan langsung didiskusikan dan dicari solusinya bersama kawan-kawannya di DPR. Setelah tidak menjadi ketua Komisi I DPR/MPR, periode 1999-2004, Aisyah dipercaya F-PP duduk dalam Badan Pekerja MPR sebagai wakil ketua Panitia Ad Hoc II, yang mempersiapkan rancangan ketetapan-ketetapan selain GBHN dan Perubahan UUD 1945.

Mencermati peristiwa-peristiwa sejarah di Indonesia, tampaklah bahwa Aisyah Aminy selalu hadir di dalamnya sebagai komponen yang ikut berjuang dan berperan serta. Ia menjadi saksi sejarah sejak zaman penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Ia pejuang kemerdekaan, aktivis di masa Orde Lama, ikut meletakkan dasar Orde Baru sekaligus mengkritisinya. Ia menjadi saksi pergantian lima presiden Republik Indonesia, sejak zaman Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Puteri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Aisyah Aminy adalah perempuan baja yang tegar dan konsisten dalam memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.Politisi Perempuan Religius Malang melintang di dunia politik yang penuh godaan duniawi, sikap hidup Aisyah Aminy tetap konsisten.

Idealismenya tak lekang dan jiwanya yang religius tak tergoyahkan. Dia politisi perempuan religius yang ditempa sejak kecil oleh keteladanan orangtuanya. Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun, Hj Aisyah Aminy SH tetap terlihat sehat, prima dan lebih muda dari usianya. Bicaranya tetap lantang dan jernih, tak berubah seperti saat ia masih menjalani hari-harinya di parlemen. Perempuan Minang ini, selama tiga dasawarsa dikenal sebagai tokoh perempuan nasional yang menjalani berbagai peran politik dan sosial bersama tokoh-tokoh nasional lainnya.

Perempuan kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat dan anak ketujuh dari delapan bersaudara, itu sejak kecil dididik dalam lingkungan yang sangat religius. Maklumlah, selain orangtuanya yang memang dekat dengan ajaran agama, di daerahnya banyak berdiri perguruan agama terkenal seperti Perguruan Diniyah dan Diniyah Puteri, Sumatera Thawalib dimana Buya HAMKA dan KH Zarkasyi-pimpinan Pondok Pesantren Gontor-pernah menimba ilmu, HIS Muhammadiyah, Kulliyatul Muballighien, Muballighot dan Madrasah Irsyadun Irsyad. Ayahnya, H Muhamad Amin, berperan sangat penting dalam mendidik anak-anaknya.

Sang ayah dan ibu Aisyah, Hj. Djalisah, meski tidak berpendidikan formal akan tetapi selalu memberikan teladan yang baik bagi mereka. Dari sang ayahlah Aisyah dan saudara-saudaranya belajar menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan moralitas. Itu sebabnya, selama malang melintang di dunia politik yang penuh intrik dan godaan duniawi, nama Aisyah Aminy tidak pernah dikaitkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Kejujuran ayahnya yang bekerja sebagai pedagang itu begitu membekas dalam kenangan Aisyah. Suatu hari, tuturnya, ada seorang pembeli yang lupa mengambil uang kembalian dan pergi begitu saja. Ayahnya menyuruh Adnan, anak keempatnya, untuk mengejar si pembeli dan memberikan uang kembalian itu. Ayahnya juga selalu membersihkan timbangannya sebelum digunakan lagi agar takaran barangnya tepat dan ia tidak mengurangi hak orang lain.

H Muhammad Amin adalah seorang otodidak. Ia bisa membaca karena sering memperhatikan huruf-huruf dan angka-angka yang tertera pada kemasan barang yang dijualnya. Dengan semangat belajar yang tinggi, dirangkainya satu demi satu huruf-huruf itu sampai ia pun menjadi lancar membaca. Bersama isterinya, H Muh Amin juga menambah pengetahuan agamanya dengan mengikuti ceramah-ceramah agama, yang antara lain diberikan oleh Dr H Karim Amarullah (ayah Buya HAMKA). Semangat belajarnya itu ditularkan kepada anak-anaknya.

Semua anaknya bersekolah, bahkan ada yang sampai ke Jawa. Sampai saat ini, yang masih aktif selain Aisyah adalah Rahmah Aminy, kakak Aisyah yang keenam. Rahmah menjadi dosen di Universitas Islam Jakarta. Adik Aisyah, si bungsu Dr. Wardiyah Aminy pernah memimpin poliklinik Departemen Agama dan saat ini masih berpraktik dokter di Rumah Sakit Rawamangun Jakarta. Sedangkan kakak keempat Aisyah, Adnan Syamny sempat dikirim Pak Natsir ke Pakistan untuk mempelajari UUD Pakistan pada awal kemerdekaan. Kakaknya yang kelima, Rusli Aminy, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan pernah menjadi dosen di Trisakti dan UPN. Dari ayahnya, Aisyah belajar tentang kejujuran, semangat menimba ilmu, dan sikap religius. Maka dari ibunya, ia belajar kedisplinan dan tanggung jawab. Aisyah tidak boleh meninggalkan sholat lima waktu dan tidak lupa mengerjakan pekerjaan rumah yang menjadi tanggung jawabnya.

Aisyah muda tidak pernah mendengar orangtuanya berkata dengan lisan bahwa mereka mendukung penuh kegiatannya berorganisasi sejak masih duduk di perguruan Diniyah Puteri Bahagian B (setingkat SMP). Tetapi mereka menunjukkan dengan tindakan. Kebiasaan Aisyah setiap liburan sekolah, adalah pulang kampung ke Nagari Magek Kabupaten Agam. Ia diminta teman-temannya untuk memimpin kegiatan bagi masyarakat di desanya yang kebanyakan tidak berpendidikan. Timbullah ide, ia dan teman-temannya kemudian mengundang guru-guru dari kota untuk memberikan ceramah pada penduduk. Buya HAMKA pun pernah diundangnya. Maka, tampaklah dukungan orangtuanya, dengan menyediakan kamar di rumah mereka untuk menginap para penceramah, menjamunya dengan baik, sampai menyediakan fasilitas bagi anak-anak muda yang melakukan kegiatan positif tersebut.

Aisyah juga banyak mendapat dukungan dari kakak keduanya, Dt Bagindo Sutan dan isterinya, Maimunah yang mengajar di Diniyah Puteri dan SKKP. Karena waktu itu, Aisyah tinggal di rumah kakaknya, Maimunahlah yang membiasakannya membagi waktu belajar, tugas rumah tangga dan kegiatan di luar. Bahkan mendorongnya mengikuti berbagai kursus. Keluarga yang konsistenApa yang sudah diajarkan ayah ibunya, kini diajarkan kembali oleh Aisyah kepada anak-anak dan para keponakannya di rumah. Isteri dari Drs Desril Kamal ini menerapkan ajaran agama dan disiplin.

Suatu kali, seorang anaknya ketahuan pergi ke diskotik. Dipanggilnya sang anak dan ditanyainya, untuk apa pergi ke tempat seperti itu. Anaknya menjawab, pergi ke tempat itu hanya untuk bergembira. Aisyah pun berkata, “Keluarga kita selalu menjalankan ajaran agama dengan baik. Di diskotik itu kamu bergembira, tetapi kamu jadi lupa waktu. Tahu-tahu sudah larut malam, tahu-tahu sudah pagi.” Padahal, di rumahnya ada aturan tidak tertulis bagi seluruh anggota keluarga, bahwa saat waktu Maghrib tiba, semuanya sudah harus berada di rumah. Jika terpaksa harus pulang malam, yang bersangkutan harus memberitahu hendak ke mana.

Aisyah sendiri, yang terkadang pulang larut malam bahkan pagi untuk urusan partai dan organisasi, selalu menyempatkan memberitahu ke rumah. Menurutnya, di dalam sebuah keluarga harus dikembangkan sikap saling memahami dan bertanggung jawab. Ketika ditanya apa kiatnya tetap konsisten dalam mempertahankan idealismenya, Aisyah tersenyum. Maka meluncurlah sejumlah kiat dari mulutnya, agar idealisme bisa terjaga dan tidak terkontaminasi hal-hal yang berbau kepentingan. Pertama, ujarnya, diawali dari rumah tangga. Pendidikan itu harus dimulai dari rumah. Seperti halnya Aisyah yang mendapatkan ajaran agama, disiplin dan moral dari orangtuanya. Kedua, pendidikan sekolah sebagai lanjutan dari pendidikan di rumah. Aisyah termasuk beruntung mendapat pendidikan dari guru-guru yang benar-benar berdedikasi tinggi.

Menurut pandangan Aisyah, guru memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter anak didiknya. Sayangnya, saat ini kebanyakan guru hanya mentransfer ilmu, bukan pendidikan. Karena itu, guru harus digaji dengan baik agar ia bisa fokus mendidik murid-muridnya. Tidak terpecah mencari pekerjaan lain untuk penghasilan tambahan. Ketiga, berorganisasi dan menjalin pergaulan yang sejalan dengan prinsip agama dan moral. Aisyah memperbolehkan anak-anak dan para keponakannya bergaul dengan siapa saja, namun tetap ada batasnya. Aturan keluarganya adalah melaksanakan ajaran agama dengan baik.

Jadi jika lingkungan pergaulan mereka tidak sejalan dengan itu, lebih baik tidak usah. Sampai kini, semua anak dan keponakannya menjadi orang-orang yang berhasil dan tidak pernah menyimpang dari prinsip-prinsip keluarga. Filosofi Minang “anak dipangku kemenakan dibimbing’ yang berarti disamping kewajiban memperhatikan keluarga sendiri, juga ada kewajiban memperhatikan keponakan dan orang di sekeliling diimplementasikan dengan baik. Tidak heran jika memberikan perhatian kepada orang lain sudah menjadi kebudayaan keluarga Aisyah. Misalnya, seorang keponakannya membangun sebuah masjid kecil di samping kantornya, yang kebetulan berdekatan dengan terminal Blok M. Masjid itu diberi nama Al Amin, yang diilhami dari nama ayah Aisyah.

Banyak orang ikut sholat dan membersihkan tubuh di situ. Bahkan pada bulan Ramadhan, disediakan makanan berbuka untuk para musafir yang singgah di masjid. Selain memetik teladan dari orangtuanya, Aisyah banyak belajar dari Mr Mohamad Roem, ketika ia bekerja di kantor pengacaranya. Meski Pak Roem adalah tokoh nasional yang berperan dalam perjanjian Roem-Royen dan pernah menjadi menteri, sikapnya terhadap bawahan sangat bersahabat. Aisyah yang masih yunior diperlakukan sejajar. Ia merasa sangat dihargai dan belakangan menyadari bahwa sikap Pak Roem itu merupakan pembelajaran yang patut diteladani.

Demikianlah, Aisyah Aminy mendapat begitu banyak teladan dari orang-orang terdekatnya dan membentuknya menjadi seorang perempuan tegar yang kita kenal sekarang. Tetap gigih berjuang di dunia politik, sosial dan kepartaian, tanpa menanggalkan kereligiusan dan keteguhan moralnya. Perempuan di Ranah Publik Dedikasi Aisyah Aminy tidak terbatas hanya di parlemen. Pada usia 70-an pun ia masih memperjuangkan persamaan gender yang dirasakannya berjalan lambat. Sejak muda, Aisyah sudah dikenal sebagai perempuan yang ingin diperlakukan sejajar dengan kaum laki-laki.

Kalau ada teman laki-laki yang meremehkan kemampuannya, serta merta ia akan menunjukkan bahwa pendapat itu salah. Hal itu dilakukannya dengan elegan dan terbukti bahwa ia memang mampu. Karena caranya membuktikan diri yang elegan itu maka tak pernah ada konfrontasi dengan teman-teman laki-lakinya. Mereka menerima keberadaannya dalam organisasi karena ia memang patut diperhitungkan sebagai teman seperjuangan. Persamaan gender yang diperjuangkannya tidak hanya diucapkan belaka, melainkan ditunjukkannya dengan perbuatan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Namun Aisyah tetap tampil sebagai sosok perempuan feminin dengan caranya bersikap dan berbusana. Sejak dulu, ia identik dengan pakaian panjang dan kerudung, serta seuntai kalung di lehernya. Demikian kenangan itu dituturkan salah seorang teman seperjuangannya di HMI tahun 1956/1957 yang juga penulis terkenal, Titie Said. Kesan itu ditorehkan Titie dalam buku biografi Aisyah berjudul Dedikasi Tanpa Batas. Dalam buku itu pula, teman seperjuangan Aisyah di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Prof. Miriam Budiardjo, menjulukinya ‘Parlementarian Perempuan yang Unggul.’ Mengenai buku biografi itu sendiri, Aisyah menuturkan, bahwa tadinya ia tidak pernah berpikir untuk membuat sebuah biografi.

Namun atas desakan teman-temannya, terutama para yuniornya di PPP, maka akhirnya terbitlah buku itu. Mereka ingin Aisyah berbagi pengalaman, sehingga bisa memetik teladan dari kiprahnya di panggung politik nasional. Selain buku yang diluncurkan tepat di hari ulangtahunnya yang ke-70, bulan Agustus 2004 di akhir masa jabatannya di DPR-MPR RI, Aisyah menerbitkan sebuah buku lagi yakni Pasang Surut Peran DPR-MPR 1945-2004. Buku itu merupakan refleksi pengalamannya selama empat periode di parlemen. Perjuangan Aisyah Aminy agar kaumnya ikut berperan aktif di ranah publik semakin menonjol saat ia masuk parlemen.

Bersama anggota-anggota parlemen perempuan lainnya, digagas Kaukus Perempuan Parlemen, yang diresmikan 19 Juli 2001. Salah satu yang direkomendasikan Kaukus Perempuan itu adalah kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dasar Perjuangan Darah Minang dalam tubuhnya tampaknya ikut mempengaruhi gejolak semangat Aisyah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan. Budaya Minang adalah budaya maternalistik yang menempatkan perempuan dalam kedudukan terhormat dan diakui eksistensinya. Keberadaannya sebagai seorang muslimah dan anggota sebuah partai Islam bukannya membatasi sepak terjangnya, sebaliknya membuat ia semakin mendobrak maju.

Sejak dulu orang selalu beranggapan Islam membatasi gerak perempuan. Menurut Aisyah, Islam tidak pernah melarang perempuan menjadi pemimpin. Pada masa Nabi Muhammad, kedudukan perempuan sangat dihormati dan mempunyai peranan penting. Isteri Nabi, Aisyah, adalah perawi hadist di zamannya. Ia juga memimpin pasukan di Perang Jamal. Demikian juga dalam sejarah Indonesia. Di Aceh dulu pernah dipimpin sultan-sultan perempuan (sultanah). Bahkan, banyak perempuan Aceh yang ikut berjuang mengangkat senjata di masa perang melawan penjajah, seperti halnya Cut Nya’ Dien.

Aisyah sangat ingin perempuan Indonesia mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk unjuk kemampuan di segala bidang, seperti dirinya. Perempuan bukan hanya untuk ditempatkan di urusan domestik. Istilah Jawa dahulu, bahwa perempuan itu hanyalah konco wingking (teman di belakang/pengikut suami-Red) atau pepatah swargo nunut neroko katut (surga ikut, neraka terangkut-Red) sudah bukan zamannya lagi. Tahun 1957, Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mencanangkan International Women Year. Hal itu membuka kesempatan kaum perempuan Indonesia untuk ikut berperan serta dalam pembangunan.

Tahun 1977-1987, Aisyah yang kala itu menjadi anggota MPR turut bersama-sama memelopori dimasukkannya klausul tentang peningkatan peran perempuan di ranah publik dalam GBHN. Sebelumnya, pemerintah tidak pernah memberi kesempatan pada perempuan untuk duduk dalam kabinet. Aisyah yang ketika itu juga sekaligus pengurus KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) melakukan berbagai lobi yang ternyata tidak mudah. Bersama teman-temannya di KOWANI, ia menghadap Presiden dan melobi agar dalam kabinet ada menteri perempuan. Untungnya Presiden cukup tanggap dan membentuk Kementerian Peranan Wanita. Berangsur-angsur, istilah peran serta, mitra sejajar dan gender mulai merambah peraturan-peraturan hukum yang ada.

Kemudian, Aisyah menyadari jumlah perempuan di DPR tidak pernah lebih dari 11 persen. Maka dibentuklah Kaukus Perempuan Parlemen, yang salah satu rekomendasinya mengenai kuota perempuan di parlemen menjadi wacana hangat. Pada dasarnya, Kaukus Perempuan Parlemen memperjuangkan peran perempuan di ranah publik. Kaukus Perempuan memasukkan usulan agar perempuan diberikan kesempatan yang lebih luas dalam berbagai rancangan undang-undang. Di antaranya UU tentang Partai Politik, yang diingat Aisyah perlu lobi berminggu-minggu sampai akhirnya disetujui bahwa dalam kepengurusan harian partai harus ada perempuan dengan kuota 30 persen.

Namun, tiba-tiba terjadi perubahan. Masukan mereka yang tadinya dituangkan dalam pasal tersendiri kemudian hanya dituangkan di bagian penjelasan. Isinya pun berubah. Aisyah protes. Terjadilah perdebatan alot. Pada akhirnya perubahan itu diterima, namun ditambahkan dalam penjelasan itu penegasan bahwa peningkatan jumlah perempuan dalam partai secara signifikan di semua level. Meski demikian, faktanya belum berjalan. Kaukus Perempuan Parlemen kembali memasukkan klausul kuota 30 persen itu pada pembahasan RUU Pemilu. Banyak protes muncul dan mengatakan bahwa itu tidak demokratis. Namun Aisyah berargumen, bahwa hal itu bukan berarti jumlah perempuan harus ditambah sekaligus 30 persen.

Pemerintah pun bisa memberikan batas waktu untuk beberapa periode saja. Nomor Sepatu Aisyah menyayangkan, dalam proses penyusunan daftar caleg, perempuan biasanya diberi nomor urut belakang atau nomor sepatu. Akhirnya yang terpilih caleg laki-laki yang selalu di urutan atas. Perjuangannya untuk pemilihan caleg perempuan ini belum berakhir. Kaukus Perempuan sebenarnya tidak menuntut jumlah perempuan harus sama banyak dengan laki-laki, melainkan hanya perlu keseimbangan yang wajar saja. Dalam Pemilu, jumlah pemilih perempuan selalu lebih dari 50 persen. Tapi tampaknya kesadaran perempuan untuk memilih caleg perempuan pun masih kurang. Jadi, menurut Aisyah, kesadaran perempuan pun harus ditingkatkan.

Kepada teman-temannya yang masih di DPR, Aisyah berpesan untuk tetap memperjuangkan itu. Jika pemilihan untuk caleg DPR menggunakan suara terbanyak, bukannya nomor urut, kemungkin-an besar caleg perempuan bisa memperoleh suara lebih banyak lagi dibandingkan sebelumnya. Terbukti dalam pemilihan caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD), jumlah perempuan yang terpilih lebih banyak karena pemilihannya tidak berdasarkan nomor urut dan tidak ada partai yang bermain di sana. Jadi siapa pun yang dipilih, akan menduduki kursi DPD. Hambatan perempuan untuk berperan di ranah publik adalah kebudayaan kita yang mayoritas paternalistik.

Selain itu penafsiran agama (Islam), di mana peran kaum laki-laki kadang-kadang membatasi peran kaum perempuan. Contohnya, ketika Megawati Soekarnoputeri dicalonkan sebagai presiden, banyak yang memprotes karena ia seorang perempuan yang dianggap tidak akan mampu memimpin negara. Kala itu, Aisyah Aminy termasuk orang yang mendukung Mega jadi presiden, meskipun pendapat partainya bertentangan dan tidak setuju.

Hampir sepanjang hidup, Aisyah konsisten dalam memperjuangkan kesetaraan kaumnya di ranah publik. Hal itu bisa dilihat dari sederet aktivitas yang pernah dige-lutinya, yang spesifik di antaranya adalah Kesatuan Aksi Wanita Indo-nesia (KAWI), Komnas Kedudukan Wanita Indonesia, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Wanita Islam dan Women Movement RISEAP (Regional Islamic Da’wah Council of South East Asia and the Pasific Nyaris tertangkap Belanda Pemerintah memberinya gelar Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indone-sia. Ia punya banyak kenangan ketika ikut berjuang dalam kancah pertempur-an saat Agresi Militer Belanda II. Aisyah masih duduk di bangku terakhir di KMI Diniyah Puteri (setingkat SMU), saat agresi militer Belanda kedua terjadi tahun 1948, yang disebut juga Perang Kemerdekaan.

Sekolahnya di KMI pun tidak sempat selesai, karena ia ikut terjun membantu perjuangan. Di masa itu, Aisyah dipercaya menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan ketua Badan Penolong Kecelakaan Korban Perang (BPKKP) yang tugasnya selain membantu masyarakat yang menjadi korban perang, juga membantu tentara menyediakan nasi bungkus. Bukan perkara mudah menyiapkan ransum makanan kala itu. Orang-orang yang mengelola dapur umum harus sangat hati-hati. Tidak boleh ada makanan tercecer, tersisa dan bungkus nasi yang tertinggal. Jika Belanda mengadakan patroli dan di sebuah rumah mereka menemukan ada tanda-tanda bekas dapur umum, seperti ceceran makanan atau daun-daun pisang bekas membungkus, maka tanpa banyak cingcong mereka akan membakar rumah-rumah penduduk desa yang membantu para pejuang dan menembaki mereka membabi buta.

Sewaktu aktif di PMI dan BPKKP, Aisyah muda seolah-olah ditempa menjadi perempuan yang tegar dan berani. Ia banyak menyaksikan pembunuhan keji yang dilakukan Belanda kepada penduduk desa, juga kontak senjata antara pasukan penjajah dengan para pejuang. Di masa itu, obat-obatan dan peralatan medis yang tersedia pun sangat minim dan seadanya. Aisyah pernah menolong seorang korban kontak senjata yang lehernya tertembak namun masih hidup. Keadaannya sangat memilukan, namun apa daya peralatan medis yang ada tidak bisa mengatasi luka-lukanya yang parah itu. Aisyah merasa sangat sedih. Korban itu akhirnya meninggal dunia dengan luka-lukanya yang parah dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa itu.

Kepedulian Aisyah terhadap perjuangan kala itu mendorongnya untuk ikut membantu para gerilyawan dengan menjadi wartawan perang. Ia tergabung dalam Wartawan Perang Sumatera Tengah sekaligus anggota Tentara Pelajar Sumatera Tengah. Tugas para wartawan perang kala itu adalah menginformasikan posisi Belanda dan perkembangan situasi garis depan kepada masyarakat dan pejuang. Ini bukan tugas enteng. Taruhannya adalah nyawa. Karena itu, dalam setiap aksinya, Aisyah selalu berhati-hati dan waspada. Dengan informasi yang diberikan para wartawan perang ini, masyarakat selalu tahu perkembangan situasi suatu daerah yang dimasuki Belanda dan keberadaan pemerintah Republik Indonesia. Nyaris tertangkapTugas ini bukan main-main, amat berbahaya, apalagi buat seorang gadis muda seperti Aisyah.

Pamannya sempat mengingatkannya untuk mengungsi ke desa yang lebih aman. Tetapi Aisyah memilih tinggal di rumahnya, karena ia lebih mudah mengetahui perkembangan situasi dan memperoleh informasi berharga bagi para pejuang. Kekhawatiran pamannya terbukti. Pada suatu hari, Belanda datang mengobrak-abrik kampungnya. Penduduk berlarian menyelamatkan diri dan berusaha bersembunyi. Situasi saat itu sangat mencekam. Para pemuda banyak yang bersembunyi di antara rumpun semak ilalang di pinggir sungai. Namun, pesawat Capung Belanda yang terbang mengitari desa bisa melihat mereka.

Pesawat itu memuntahkan ribuan peluru ke arah persembunyian mereka. Tercatat 35 orang pemuda gugur dan mereka dikuburkan secara massal di halaman sebuah masjid. Tentara Belanda pun memasuki kampung dan mendobrak rumah-rumah penduduk. Rumah keluarga Aisyah tak luput dari penggeledahan Belanda. Untunglah keluarganya sudah keburu mengungsi, namun Aisyah yang bersikeras bertahan tak sempat lari keluar rumah ketika Belanda mendobrak masuk ke rumahnya. Aisyah gemetaran mencari akal. Akhirnya, ia bersembunyi di balik pintu sebuah kamar. Belanda mendobrak pula kamar tempatnya bersembunyi. Aisyah sangat ketakutan. Ia tak putus-putus membaca doa sambil memperhatikan dari balik pintu bagaimana seorang serdadu Belanda masuk dengan senter di tangannya dan memandangi foto datuk (kakeknya).

Untungnya, serdadu itu tidak memeriksa dengan seksama sampai ke balik pintu. Ia hanya mengambil lampu stromking di kamar itu dan langsung pergi. Tuhan YME masih memberi keselamatan bagi Aisyah. Padahal, sepupunya yang sedang sakit di rumah sebelah malah diangkut Belanda. Di masa clash kedua ini, gerilyawan kita sangat sulit dilumpuhkan. Ketika pasukan Belanda melintasi perbukitan, mereka diserang para pejuang dari atas bukit sehingga mereka kocar-kacir. Namun akibatnya, Belanda sering balas menyerang dengan membabi buta ke desa-desa sekitarnya, bahkan sampai membakar rumah-rumah penduduk.

Namun karena Belanda tidak setiap hari melakukan penyerangan, para pelajar yang berasal dari berbagai sekolah dan perguruan berinisiatif mengundang guru untuk memberi kursus. Untuk mengawasi gerak-gerik Belanda, ada sukarelawan yang bertugas mengintai di atas bukit. Jika Belanda datang, para pengintai akan memberikan peringatan dengan meniup puput kerbau, yakni sebuah terompet yang terbuat dari tanduk kerbau. Mereka meniupnya dengan keras, sehingga penduduk kampung segera bersembunyi ke bukit-bukit. Pengalaman selama tahun 1949 itu begitu mendalam di hati Aisyah. Tidak heran jika akhirnya Aisyah tumbuh dewasa dengan prinsip dan keyakinan untuk terus mempertahankan kemerdekaan dan berjuang penuh pengorbanan demi kebenaran. Demi Bangsa dan Negara Inilah pemikiran seorang Aisyah Aminy tentang partainya, korupsi, kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyat.

Pemikiran-pemikiran Aisyah untuk masalah bangsa dan negara tetap setajam dulu. Sampai masa tuanya (usia di atas 70 tahun), ia masih aktif dalam kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelutinya setelah sebelumnya aktif di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 1968. Pada waktu Parmusi terkena kebijakan restrukturisasi dan difusikan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, Aisyah secara otomatis menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Sementara itu, Parmusi yang dahulu merupakan partai sekarang menjadi organisasi kemasyarakatan sejak tahun 2000 dengan kepanjangan ‘Persaudaraan Muslim Indonesia’ yang diketuai Drs. Husni Thamrin dan Sekjen Bachtiar Chamsyah.

Karena keaktifan Aisyah di PPP dan potensinya, pada Muktamar PPP tahun 1984, ia terpilih menjadi Ketua DPP PPP. Ia merupakan perempuan pertama dari kader partai yang menduduki jabatan Ketua DPP. Dalam bidang politik praktis, memang jarang seorang perempuan mendapat kesempatan menjabat ketua DPP sebuah partai politik Islam. Kemudian berturut-turut, ia mendapat jabatan-jabatan strategis, seperti wakil Ketua MPP PPP termuda periode 1989-1994, ketua DPP PPP periode 1994-1999, wakil ketua Majelis Pakar PPP periode 1999 dan anggota Majelis Pertimbangan Partai Pusat (MPP) sampai sekarang. Sewaktu menjadi Ketua DPP PPP 1984-1989, ia mengusulkan pada ketua umum PPP saat itu DJ Naro, agar di setiap wilayah dan cabang ada seorang perempuan di posisi ketua.

Naro merespon positif usul Aisyah dengan menginstruksikan pada pengurus wilayah dan cabang agar menempatkan perempuan pada pimpinan hariannya dalam jajaran ketua-ketua. Saat ia masih duduk di Komisi I, Aisyah mendesak Pangab LB Moerdani agar perempuan diberi kesempatan menduduki jabatan-jabatan tinggi di jajaran TNI, juga untuk bersekolah di SMA Taruna. Saat ini, saran Aisyah menjadi kenyataan. Di masa kepemimpinan Naro, April 1989, menjelang Muktamar II PPP, Aisyah sempat terlibat konflik dengan sang ketua umum. Awalnya, Aisyah, H Ismail Hasan Metareum SH, Faisal Baasir, Chalil Badawi, Moh Sulaiman, Hartono Mardjono, Jusuf Syakir dan Husni Thamrin membentuk panitia kembar Muktamar II PPP. Aisyah menganggap pembentukan ini untuk menegakkan demokrasi di PPP.

Namun menurut Naro itu merugikan partai. Naro mengancam akan me-recall mereka dari DPR, tetapi mereka pantang menyerah. Kelompok ini disebut Kodel (Kelompok Delapan). Lain halnya ketika PPP dipimpin Buya Ismail Hasan Metareum, Aisyah sering diberi kesempatan melaksanakan tugas-tugas partai, termasuk sebagai Ketua Komisi I DPR atas nama fraksi. Putusan akhir tentang pimpinan Komisi ini dilaksanakan dalam rapat pleno Komisi. Aisyah menganggap Buya Ismail telah menerapkan prinsip kesetaraan gender jauh sebelum isu ini menjadi wacana seru sekarang ini.

Demikian juga saat PPP dipimpin Hamzah Haz. Saat dirinya akan dicalonkan sebagai anggota DPR pada Pemilu 1999, Aisyah mengetahui bahwa sebagian kader partai menginginkan kesempatan itu diestafetkan pada yang lain. Karena itu, ia bermaksud mengundurkan diri. Namun, Hamzah Haz memberikan ‘catatan’ kepada Sekjen partai agar Aisyah tetap dicalonkan di kabupaten Agam sesuai permintaan pimpinan Cabang Partai Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Konsolidasi 2009Menjelang Pemilu 2009, dibandingkan partai-partai lain yang sudah melakukan konsolidasi, PPP tampak masih tenang-tenang saja. Padahal, berdasarkan survei Denny AJ, jika PPP tidak segera berbenah sejak sekarang, pada Pemilu berikutnya tidak akan masuk treshold.

Karena itu, di PPP mulai muncul suara-suara yang menginginkan pimpinan partai melakukan langkah-langkah untuk mengadakan konsolidasi. Sementara itu, unsur-unsur pimpinan-termasuk Ketua Umum-di Dewan Pimpinan Pusat yang sekarang disebut Dewan Harian Pusat (PHP) memutuskan untuk mengadakan muktamar tahun 2007. Padahal menurut kelompok yang menginginkan konsolidasi segera, hal itu tidak akan efektif sebab tahun 2008 sudah ada persiapan Pemilu. Kelompok yang ingin mempercepat konsolidasi itu kemudian melaksanakan Silaturahmi Nasional (Silatnas) yang menghasilkan rekomendasi atau usulan untuk mempercepat muktamar pada 2005. Apalagi, dalam Pemilu sebelumnya perolehan suara PPP menurun. Namun DHP menganggap Silatnas itu melanggar AD/ART partai.

Maka beberapa orang yang terlibat Silatnas diberhentikan sementara, termasuk di antaranya enam orang pengurus harian. Belakangan nama mereka direhabilitir kembali, namun sebagai gantinya 40 orang anggota PPP yang menghadiri Silatnas diberhentikan. Setelah diprotes, kembali direhabilitir. Setelah itu, menurut Aisyah, tampaknya ada tanda-tanda bahwa muktamar akhirnya akan dipercepat, meski waktunya belum dipastikan. Kesejahteraan dan KorupsiSuatu hari, seorang kenalan Aisyah yang bekerja di perusahaan mobil bercerita tentang seorang yang membeli sebuah Mercedes Benz seharga Rp 12 miliar. Diceritakan oleh kenalannya, betapa semangatnya si pembeli dan bagaimana perusahaannya mengantar mobil itu sampai masuk ke garasi si pembeli. Aisyah mengaku trenyuh mende-ngar cerita itu. Di saat ekonomi sulit seperti sekarang dan orang-orang miskin bukannya berkurang malah bertambah, ada orang yang tidak segan membuang uangnya sebesar itu demi sebuah mobil.Ia menunjuk orang-orang desa yang di zaman serba modern itu sebagian besar tetap saja hidup miskin.

Di zaman penjajahan, rakyat desa adalah orang yang paling menderita karena harus kerja paksa dan tanam paksa. Dalam Pasal 33 UUD1945, unsur kerakyatan benar-benar ditekankan, tetapi tidak terlaksana. Menurut Aisyah, negara kita tak kunjung bangkit karena manajemennya buruk. Kekayaan negara tidak dikelola sesuai dengan amanat founding fathers. Ada orang yang untuk makan hari ini pun tidak bisa, tapi ada orang yang kekayaannya tujuh turunan tak habis. Ia mengaku sangat gembira ketika Presiden SBY begitu bertekad memberantas KKN, karena KKN adalah salah satu faktor yang mengakibatkan kesenjangan dan kesengsaraan.Bagaimana mungkin ada PNS golongan IV yang memiliki 4 rumah, 5 mobil. Kalau tidak ada penyimpangan, tidak mungkin. Karena awalnya gaji tidak cukup, maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan. Berkembang tidak hanya untuk kebutuhan sekadarnya, melainkan menjadi kerakusan.

Aisyah menunjuk contoh kasus korupsi di KPU dan Bank Mandiri yang merupakan bank BUMN terbesar. Padahal, menurutnya, KPU saat ini anggota-anggotanya berbeda dengan KPU sebelumnya yang merupakan orang partai. Anggota-anggota KPU sekarang ini orang-orang terdidik dan terpercaya. Ternyata tetap saja terjadi kasus korupsi yang memprihatinkan banyak orang. Selain kemiskinan dan kesejahteraan rakyat, ia juga mencermati sistem pendidikan yang tidak mendorong para lulusan sekolah untuk bisa mandiri. Saat ini, jumlah penggangguran terus meroket setiap tahun. Menurut perempuan yang pernah menjadi guru dan dosen ini, hal itu disebabkan karena sistem pendidikan di Indonesia tidak berbasis link and match.

Jadi para lulusan tidak bisa mengaplikasikan apa yang sudah didapat di sekolah di tengah masyarakat. Selain itu, kesejahteraan guru yang kurang, menyebabkan guru tidak fokus mendidik murid-muridnya. Kepedulian Aisyah pada dunia pendidikan juga diwujudkan pada pelajar-pelajar perempuan Aceh yang tertimpa musibah tsunami. Organisasi Wanita Islam berencana akan membangun asrama untuk mahasiswi Aceh yang sudah hampir lulus dan berbakat. Para mahasiswi itu dikhawatirkan keluar dari Bumi Rencong karena merasa tidak ada harapan lagi di daerahnya yang porak poranda.Padahal, menurut Aisyah, mereka adalah calon-calon pemimpin perempuan di Aceh. Ia berharap, mereka tetap tinggal di Aceh dan ikut membantu membangun daerahnya kembali. Apalagi sejak dahulu, Aceh terkenal dengan sultan-sultan perempuan dan pejuang-pejuang perempuan yang gigih.

Tidak ada komentar: