Balimau punyak banyak arti. Terminologi balimau dalam mayarakat Minangkabau dekat dengan aktivitas mandi menyucikan diri (mandi wajib, mandi junub) dengan limau (jeruk nipis), dan rempah-rempah yang memberikan aroma kesegaran dan keharuman alami lainnya.
Tetapi, akhir-akhir ini tradisi lokal tersebut yang diwarisi secara turun-temurun itu telah mulai hilang atau sengaja dihilangkan, karena ada kalangan alim ulama di ranah minang sendiri, menganggap tradisi “ balimau “ sebagai perbuatan bid’ah, tidaj ada dalam ajaran Islam.
Sebagai sebuah tradisi yang menurut saya bernilai baik (hasanah), tidak ada salahnya “Tradisi balimau” ini tetap dipelihara dan dilestarikan, bahkan sebaiknya perlu dilakukan proses islamisasi/ pengayaan tradisi ini dengan nilai-nilai Islam. Apalagi pekerjaan yang perlu dilakukan ulama Minangkabau, kalau bukan mengapresiasi budaya lokal dan mengislamkannya sebagai ciri khas keberterimaan (acceptability) Islam dengan budaya Minangkabau. Toh, sudah banyak tradisi lokal yang sudah diislamkan oleh ulama Minangkabau terdahulu. Entahlah ia (ulama itu) tidak berasal dari kultur budaya Minangkabau. Bolehlah, dapat dimengerti alasan sebagian ulama yang menyatakan bahwa kedatangan Tradisi Islam telah mengatasi segala tradisi berbasis etnik dan daerah tertentu dengan dalih “al Islămu ya’luu wală yu’lă alaihi (Islam itu tinggi, dan tidak ada yang mengatasinya). Tetapi secara historis, banyak juga tradisi lokal bangsa Arab bahkan syari’at agama sebelumnya diterima oleh Islam sebagai bagian dari kebudayaan Islam.
Dalam pengertian yang dikontruksi oleh beberapa subkultur di wilayah Minangkabau, tradisi balimau bertujuan untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa. Masyarakat tradisional minangkabau pada zaman dahulu, mengaplikasikan wujud dari kebersihan hati dan jiwa dengan cara mengguyur seluruh anggota tubuh atau keramas disertai dengan ritual yang memberikan kenyamanan dan efek bathin serta kesiapan lahir bathin ketika melaksanakan Ibadah puasa. Namun tempatnya tidak di lakukan ditempat pemandian umum, tapi di tempat pemandian masing-masing. Kemudian, mensucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam. Islam itu sangat suka kebersihan. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman? Jika ada ulama yang mengharamkan, sebaiknya gunakan bahasa yang pas, yaitu haram mandi bersama di pemandian umum yang mempercampurbaurkan laki-laki dan perempuan yang tidak muhrim. Nah, ajaran Minagkabaupun sejalan dengan ajaran Islam, juga tidak memperbolehkan mandi campur baur seperti “tukak dan kain buruak” itu.
Ada sebagian orang yang menyamakan mandi balimau dengan mandi taubat. Hanya saja persoalannnya pada mandi taubat. Kalau dilihat dalam literatur fiqih mandi taubat tidak masuk dalam daftar mandi yang disunnahkan (al-aghsal al-masnunah), atau mandi yang disunnahkan. Yang termasuk sunnah malah mandi kerika baru masuk Islam, bukan mandi karena taubat dari maksiat. Hanya saja, apakah karena tidak disunnahkan, mandi balimau sebagaimana yang dimaksudkan oleh sebagian masyarakat Minangkabau tidak dapat dibenarkan? Menurut saya, selama itu tidak melanggar nilai prinsipil dari syari’at Islam, tidak ada salahnya dibenarkan oleh ulama. Yang penting, ulama dapat memberikan pelajaran dan tuntunan dengan cara hikmah dan mau’izatil hasanah. Misalnya dengan menyatakan bahwa mandi balimau bukanlah mandi taubat. Tradisi Balimau tidak hanya berputar sekitar mandi dan membersihkan diri, akan tetapi juga diisi dengan kegiatan jelang-menjelang antara dua atau lebih kerabat. Seperti lazimnya, orang yang baru nikah, menjelang orangtua/ mertua. Intinya tidak lain adalah silaturrahmi. Bahkan prosesnya lebih panjang. Karenanya, waktu-waktu menjelang bulan puasa disebut dengan Bulan Balimau.
Selain itu, bagi anggota tarikat Syatariah di daerah Padangpariaman, menyambut bulan suci Ramadhan dengan melakukan ziarah ke kuburan (makam) para aulia (syekh) atau guru pengajian tarekat tersebut. Selain makam Syekh Burhanuddin di Ulakan yang diyakini sebagai pengembang Islam terkemuka di ranah Minang, juga makam Angku Saliah, Tuanku Kiambang, Tuanku Koto Tuo dan sejumlah kuburan guru penganut tarekat di daerah ini. Namun tidak sedikit celaan yang dilekatkan kepada tradisi ini. Sebagian masyarakat Minangkabau dalam bulan balimau ini juga kerap menziarahi kuburan orangtuanya dan sanak keluarganya. Biasanya anggota keluarga mendatangi kuburan pendahulunya, sekaligus membersihkan makam orangtuanya atau nenek/kakeknya. Biasanya, prosesi ini dimulai dengan gotong royong membersihkan kuburan sanak keluarga di pandam perkuburan keluarga atau kaum. Kemudian dilanjutkan dengan berdo’a bersama dan ada juga yang ditutup dengan makan bersama. Jika dicari rujukannya dalam ajaran Islam memang tidak bertemu, kecuali kebolehan berziarah itu sendiri. Nabi Muhammad SAW pernah melarang dan kemudian membolehkannya. (Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, tetapi sekarang (karena iman kalian sudah baik), maka berziarahlah (THR Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi)
Lalu selain mencela, apa sebaiknya yang dapat dilakukan oleh ulma Minangkabau? Menurut saya, secara syar’i ulama Minagkabau perlu menjelaskannya secara detai dan kemudian memberi rambu-rabu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Saya sendiri sebagai warga Minangkabau merasa kurang nyaman bila pro kontra ziarah kubur itu bertolak dari perbedaan mazhab, aliran keagamaan dan perbedaan tafsir yang disuarakan dengan nada sinis dan saling mencela. Tidak dapat dipungkiri bulan balimau disalah artikan sebagai hura-hura, mandi bersama-sama ke tempat-tempat pemandian umum, seperti sungai dan danau, juga laut. Biasanya dilakukan oleh anak-anak muda yang terikat status hubungan “bacewek-cewek”, “bapamole/bapole-pole”, “bagandak/bapacaran”. Agaknya inilah tiang persoalan yang kerap diresahkan media massa, di samping status hukumnya secara agama. Sesungguhnya, tradisi balimau tidak termasuk dalam kategori adat, walaupun ia telah ada sejak dahulu. Tetapi ini sudah menjadi khazanah budaya, mentradisi seperti halnya penyelenggaraan tata cara dan upacara perkimpoian dan sebagainya. Upacara perkimpoian di Minagkabau-pun sesungguhnya sudah banyak melenceng dari aturan adat bahkan agama, dan berlangsung lebih sering dari tradisi balimau.
Jadi menurut saya, bila terjadinya ekses negatif atau salah kaprah dari tradisi balimau, seperti yang dilakukan oleh muda-mudi berbuat maksiat ditempat-tempat pusat pemandian, sudah Menjadi tugas keluarga, ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai yang dapat mengurangi ekses negative dari tradisi tersbut. Apalagi bila sampai terjadi terjadi pendangkalan agama dalam tradis tersebut. Dengan tidak mengabaikan ketentuan agama, yang mengikis setiap perbuatan bid’ah dikalangan masyarakat, maka hemat saya tidak perlu kawatir bahwa tradisi balimau akan berefek pedangkalan agama, melainkan hanyalah semata sebagai perwujudan pelesatrian khazanah budaya Minangkabau yang sifatnya sementara belaka. Toh, sakali aie gadang, sakali tapian barubah”. Atau seperti ungkapan Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali (Inyiak Imam Salo) tentang tradisi membakar kumayan sebelum berdoa, “Sudahlah, ingatkan saja baik-baik, bila saatnya orang tak lagi menjual kumayan, maka tradisi itu akan hilang sendiri. Soal adat dan kebudayaan tak ada yang abadi, ia akan berhadapan dengan perubahan dan tantangan zaman”
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan yang punya arti dan makna tersendiri bagi umat Islam. Begitu banyak hikmah yang diperoleh di bulan Ramadhan, sangat wajar bila umat Islam menyambutnya dengan bersuka ria. Berbagai bentuk kegiatan digelar menyambut bulan Ramadhan yang penuh berkah tersebut. Sekalipun dalam ajaran dan fiqih Islam tidak ditemukan bentuk dan acara yang dilakukan itu. Mengingat agama Islam sudah tersebar ke berbagai pelosok penjuru dunia, yang semula tumbuh dan berkembang di tanah Arab, maka berbagai tradisi lokal bermunculan dari umat Ialam itu sendiri menyambut Ramadhan. Setiap daerah menyelenggarakan kegiatan khas daerah setempat.
Di Mesir, kata orang yang pernah ke sana juga ada tradisi meletuskan sebuah meriam tua yang digunakan sebagai penanda bulan puasa. Meriam itu juga digunakan untuk penenda waktu waktu imsak dan buka puasa. Meriam itu diberi nama Hajjah Fatimah, warisan dari Muhammad Ali Pasha, yang menurut cerita, adalah putri Ustman Khos Qadam, penguasa Dinasti Usmani. Di kampung, saya dulu juga pernah meletuskan “mariam batuang” menjelang bulan puasa. Entahlah sekarang masih ada yang memainkan atau tidak, nanti saya tanya ke kampung halaman. Apakah ini juga terinspirasi dengan meriam Hajjah Fatimah di Mesir atau tidak, akan saya tanyakan juga. Persoalan pro-kontra tradisi balimau sebaiknya diselesaikan. Kita anggap saja tradisi balimau sebagai berkah awal Ramadhan dan menjadi bagian syi’ar Islam di Minagkabau. Dari saya hanya sekian, kalau ada yang mau berpendapat, membantah atau apa saja, sebaiknya tulislah, sediakn sedikit waktu untuk menulis. Tetapi jangan sampai merusak silaturrahhmi kita. Bagiamanpun, silaturrhami hukumnya wajib dan lebih tinggi dari mempersoalkan efek like-dislike tradisi balimau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar