Simpang Ampek, BUKAN Simpang Empat..!
Ibukota Pasaman Barat Simpang Empat sejak tanggal 19 September 2011 resmi namanya disebut Simpang Ampek. Kecamatan Gunung Tulas, diresmikan namanya jadi Gunuang Tuleh, dan Sungai Aur diresmikan menjadi Sungai Aua.Hal itu disampaikan Bupati Pasbar H. Baharuddin R yang didampingi Wabup Pasbar H. Syahrul Dt Marajo, dalam peresmian nama ibukota Pasbar, dan nama kecamatan, nagari, jorong, dan nama jalan di halaman kantor Bupati Simpang Ampek, Senin (19/9).
Hadir juga dalam peresmian tersebut, Ketua LKAAM Sumbar Drs. H. M. Sayuti Dt Panghulu, M.Pd. Pemangku Adat Simpang Ampek Hendri Eka Putra.SE Daulat Parik Batu, dan sejumlah tokoh masyarakat di Pasbar.
Pengembalian nama-nama daerah ke bahasa aslinya itu, kata Baharuddin, sebagai realisasi Perda nagari yang telah disahkan DPRD setempat baru-baru ini.
Selanjutnya, sebut Baharuddin, untuk nama Kecamatan Parit, diganti dengan Parik Koto Balingka. Ujung Gading, diresmikan namanya Ujuang Gadiang. Kecamatan Silaping diresmikan sebutannya dengan Silapiang.
Sebutan bundo kandung, dikembalikan namanya bundo kanduang. Sebutan Suka Menanti, disesuaikan lagi dengan Suko Mananti. Selama ini sebutan Padang Tujuh, juga dikembalikan menjadi Padang Tujuah. Dan Air Bangis dikembalikan kenama aslinya Aia Bangih. Nagari Sinurut, dikembalikan kenama aslinya Sinuruik.
Dengan demikian seluruh nama nama-nama kecamatan, nagari, jorong, di Pasaman Barat dikembalikan kepada nama-nama aslinya. Sehingga budaya Minangkabau itu di Pasaman Barat, imbuh bupati akan tetap selalu eksis dan masyarakat bangga dengan bahasa sendiri atau bahasa aslinya.
Ditempat yang sama Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Panghulu, memberikan apresiasi kepada bupati Pasbar H. Baharuddin R yang punya inisiatif untuk mengembalikan nama-nama daerah ke bahasa aslinya Minangkabau. Sebab, tidak semua bahasa Minang yang bisa dijadikan bahasa Indonesia, yang mengandung arti yang benar.
”Di Sumbar baru Pasaman Barat yang pertama punya inisiatif mengembalikan nama-nama kecamatan, nagari, kampung, jalan ke bahasa aslinya Minangkabau,” kata Sayuti.
Seiring dengan itu, kata Sayuti, falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah itu, diharapkan akan berjalan dengan baik di bumi Pasaman Barat
" AYO KEMBALIKAN LAGI KE EJAAN MINANG "
Saya sangat setuju seandainya nama yang telah diIndonesiakan tersebut dikembalikan ke bentuk bahasa asalnya.
Seperti nama Pauh Kambar dikembalikan menjadi Pauah Kamba,
Sungai Sarik dikembalikan menjadi Sungai Sariak,
Alang Lawas dikembalikan menjadi Alang Laweh dan lain sebagainya.
Saya melihat nama-nama daerah atau kota yang telah diIndonesiakna itu seakan menyiratkan ketidakpercayaan diri orang Minang sebagai putra Minang. Sangat kontradiktif dengan perilaku dan budaya Minang yang memperlihatkan dominasinya di kancah Nasional. Sebut saja Bapak Pendiri Bangsa ini yang kebanyakan adalah Putra Minang, seperti Tan Malaka, M Hatta, Sutan Syahrir, M Natsir, dll.
Bagitu juga dengan budaya kuliner yang sudah terkenal di seluruh pelosok Tanah Air bahkan ke mancanegara. Rumah Makan Padang atau Masakan Padang sudah menjadi kalimat yang tak lazim lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Sangat ironi dengan penamaan daerah tadi yang bahkan telah merambah ke dalam bidang pemerintahan.
Pemerintah Daerah dan Kota di Sumatera Barat seakan menyetujui penamaan yang telah salah ini. Saya tidak mengetahui pasti kenapa masyarakat Minang membiarkan hal ini sampai terjadi. Apakah hal tersebut dikaitkan dengan peristiwa PRRI atau yang lainnya, sepertinya harus diperlukan pembuktian lebih lanjut.
Kita lihat daerah lain selain Sumatera Barat, dimulai dari Aceh sampai ke Papua, mereka sangat bangga memakai nama tempat atau daerahnya dengan bahasa setempat. Contoh: Meulaboh (Aceh), Aek Pining (Sumut), Kuto Besak (Sumsel), Dayehkolot (Jabar), Nabire (Papua) dan masih banyak lainnya.
Suatu kali ketika saya berbincang-bincang dengan teman-teman yang berasal bukan dari Sumatera Barat, mereka menanyakan tentang arti dari nama daerah yang ada di Sumatera Barat. Waktu itu mereka menanyakan arti “Tabing”. Awalnya saya dengan ringan menjawab, dalam bahasa Minang kata tersebut dilafalkan dengan “Tabiang” yang berarti Tebing. Lalu saya kaget sendiri dengan kata dalam bahasa Indonesia nya yang disebut dengan “Tabing” bukan “Tebing”. Pengalaman ini menggelitik saya dan dengan spontan mengingat nama-nama lain yang kebanyakan tidak memiliki padanan yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar.
Sumber
TULISAN DARMAN MOENIR
SAYA benar-benar takzim membaca teks foto utama halaman satu “wawancara” Singgalang Sabtu, 22 Desember 2012. Ini bunyi teks itu: Pemimpin Redaksi tvOne, Karni Ilyas, mewawancarai pelajar SMPN 1 Lubuak Aluang, setelah peresmian sekolah yang dibangun kembali atas prakarsa televisi tersebut, Jumat (21/12).
Judul dan isi berita di halaman A-2 pun membuat saya takzim: Di Lubuak Aluang SMPN 1 Bantuan TvOne Diresmikan. Pada teks foto ada penjelasan pemotret (darmansyah), di akhir berita ada kode (213).
Mengapa takzim? (Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia tertera, takzim bermakna amat hormat dan sopan, memuliakan.) Setidaknya kata Lubuak Aluang (dengan huruf tebal, DM) pada teks dan lima kata yang sama pada berita ditulis persis: Lubuak Aluang. Hanya pada alinea kedua akhir tertera kata Lubuk Alung (salah ketik?).
Saya tidak hendak mengomentari Negari Lubuak Aluang secara komprehensif. Benarkah itu berasal dari permainan kata: lubuak alu ang? Di mana lubuak alu den? Dalam berita ada nama-nama Padang Sago, Ulakan, Tuo Barangan, VII (Tujuah) Koto Sungai Sariak, Sicincin, 2 x 11 (Duo Kali Sabaleh) Anam (bukan Enam) Lingkuang. Menurut pengamatan saya, penulis teks dan berita, Redaktur Pelaksana, Pemimpin Redaksi, sudah berupaya maksimal untuk kembali menamakan negari (atau, dalam bahasa Minangkabau, nagari) di Minangkabau sesuai asli.
Sesungguhnya ternyata bukan hanya Singgalang yang sudah berupaya menggunakan nama-nama negari sesuai nama-nama awal. Padang Ekspres, Haluan, dan Posmetro Padang pun berupaya. Sesekali Kompas dan Republika, saat menyajikan berita tentang Provinsi Sumatra Barat dan/atau Minangkabau, pun berbuat serupa. Keenam harian itu saya langgankan dan baca setiap hari. Pada waktu tertentu saya juga membaca mingguan dan tabloid yang terbit di daerah ini. Televisi-televisi dan radio-radio yang siar di Kota Padang, Bukittinggi, dan kota-kota lain pun berbuat sama. Biarpun televisi dan radio sering gaduh dengan kata dan kalimat berdialek Jakarta. Saya dan banyak urang awak barangkali sependapat, bahwa penamaan negari (taratak, dusun, jorong, kampung) di Minangkabau dikembalikan ke nama asli. Dan ini bukan pendapat baru, dan bukan pula pendapat saya pribadi.
Sejak beberapa dekade, paling tidak, sejak Gubernur Harun Zain mengembalikan dan berupaya menaikkan harga diri orang Minangkabau, upaya itu mulai dilakukan. Sawahlunta dikembalikan ke nama asli Sawahlunto. Kemudian, beberapa skolar sebutlah Prof. Dr. Chaidir Anwar, M.A., Prof. Dr. Azis Saleh, M.A., Prof. Dr. Mursal Esten, dan banyak yang lain juga berupaya mengembalikan pinang ka tampuak, siriah ka gagang (ke tempat/nama semula).
Selama dua puluh tahun terakhir, saya memang termasuk yang amat getol mengusulkan agar nama-nama negari ini dikembalikan ke yang asli. Saya sudah berkali-kali menulis kolom, berbicara di seminar dan diskusi, berwawancara di televisi dan radio, tentang pengembalian nama ini. Aneh atau lucu dan bahkan menyesatkan bila nama-nama itu diindonesiakan. Sebutlah Aie Cama di Kota Padang, diubah menjadi Air Camar. Apakah makna cama dalam bahasa Minangkabau. Cangok, rakus, bukan? Apakah makna camar dalam bahasa Indonesia? Bukankah camar nama burung? Tidakkah dengan demikian, dengan pengubahan itu, terjadi penyesatan dan penyalahan makna? Begitu juga nama Ikua atau Ikue Koto, mengapa disebut Ikur Koto? Apakah arti ikur?
Saya tak hendak menyinggung “sejarah” penggantian dan pengubahan nama-nama negari yang diindonesia-indonesiakan. Sudahlah! Saya hanya merindukan, kembali merindukan, agar nama-nama negari di seantero Minangkabau dikembalikan ke nama asli, ke nama semula. Biarpun tidak mungkin dipaksakan, tetapi pekerjaan ini juga tidak sulit-sulit amat.
Bertanya saja ke tetua, tokoh-tokoh dan para intelektual di negari masing-masing. Tanyakan, sebagai contoh, apakah negari ini memang sejak seisuk, sejak dunia terkembang, benama Sulik Aie? Lalu, mengapa harus diubah menjadi Sulit Air? Mengapa seterusnya tidak digunakan Sulik Aie saja?
Dengan demikian, akan berkibar kembali nama-nama indah, hebat, penuh makna bahkan bermartabat di tiap kampung dan negari. Ada Nagari Baruah Gunuang, Jorong Banda Raik, Gunuang Omeh, Talago Guguak, Batu Basa, Supayang, Simabua, Situmbuak, Salimpauang, Aie Angek, Sawah Tangah, Katapiang, Sigaluik, Bayua, Ambun Pagi (nama yang juga digunakan secara mengena untuk ruang rawat inap berkelas oleh RSUP Dokter M. Djamil), Matua, Batipuah Baruah, Kubu Karambie, Batu Banyak, Andaleh. Ada nama-nama Parak Gadang, Pasa Mudiak, Parak Laweh Pulau Aie Nan Duo Puluah, Subarang Padang, Pasie Nan Tigo, Koto Marapak, Balai Salasa, Garabak Data, Karang Sadah, Lintau Buo, Lubuak Jantan, Lubuak Basuang, Lubuak Minturun, Lubuak Buayo, Lubuak Situka Banang, Malalo, untuk menyebut beberapa nama. Dan alangkah indah, merdu, musikal dan berwibawa nama-nama kawasan ini: Rimbo Kaluang, Palinggam, dan Balanti di Kota Padang. Itu bukan Rimba Kalong, Pelinggam atau Belanti.
Selain terhadap kru media-massa sebagai pemakai bahasa paling aktif, baik tulis maupun lisan, rasa hormat juga harus disampaikan kepada pejabat pemerintah yang telah mengambil kebijakan untuk mengembalikan penamaan sebagaimana mestinya. Setahu saya, (Pak) Bupati Baharauddin R., melalui legislatif, sudah menetapkan, membuat peraturan daerah (perda), bahwa Simpang Ampek di Pasaman itu ya Simpang Ampek. Semua penamaan negari dan tempat di kabupaten itu dikembalikan ke asli. Hebat dan salut!
Mengapa pejabat pemda kota, kabupaten lain, dan provinsi belum mengambil kebijakan yang sama? Mengapa legislatif tidak tanggap ketika usulan dari masyarakat nyaring terdengar? Betapa lagi, berminang-minang, Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar adalah dua orang datuk, dua orang ninik-mamak terpandang? Dan mengapa organisasi keminangan seperti LKAAM dan Bundo Kanduang berdiam diri, diam semilyar bahasa?
Ayolah, kita kembalikan nama-nama itu ke yang asli.
Kemudian, mengubah kop surat, stempel, pelang-pelang nama (kantor, jalan), kartu nama dan beberapa perubahan lain tidak makan biaya besar. Tak perlu pengembalian nama “didarahi” dengan upacara seremonial. Saya memang rindu, sangat rindu, nama-nama taratak, dusun, jorong, negari di Minangkabau kembali ke asli. Batavia memang berubah jadi Jayakarta dan kemudian Jakarta tetapi setahu saya nama-nama dukuh, desa, di Jawa, tak mengalami perubahan. Begitu juga di etnik-etnik lain.
Lewat tulisan ini saya menghimbau agar masyarakat Minang kembali menyadari bahwa dengan mengembalikan nama tempat atau daerah tersebut adalah salah satu sikap untuk memajukan budaya dengan berbahasa Minang seutuhnya. Dalam istilah Minang disebut “Indak saparo ula saparo baluik (Tidak sebagian ular sebagian belut)” yang berarti tidak plin plan. Sebagai orang Minang saya tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak berbudaya. Bagaimana dengan anda?
Silahkan Baca Komentar dari para Dunsanak kito di Fans Page MINANGKABAU