Kampung, Awal Juni 2008
Kanti,
Lama sungguh kita berpisah. Aku tersadar tentang itu ketika konco palangkin kita pulang kepetang ini. Panjang cerita kami. Nostalgia sejak kita berhuru-huru di kampung di awal tahun tujuh puluhan, sejak kita masih terlibat gotong royong sabit-irik, sejak kita ikut-ikut pergi berburu ke kaki gunung. Tentu saja kami mengabsen semua kanti-kanti kita kala itu. Kau adalah salah satunya. Kenangan itu mengingatkanku bahwa sejak itu pula kita tidak pernah lagi bersua. Aku mendengar bahwa kau pernah sekali waktu pulang ke kampung tapi berkebetulan ketika itu aku sedang dibawa kemenakan raun ke Medan. Sehingga kita tidak bertemu.
Konco palangkin kita bercerita tentang pencapaianmu di rantau. Aku ikut senang mendengarnya. Syukurlah, bahwa elok peruntunganmu. Mudah-mudahan tetaplah seperti itu untuk seterusnya. Sebenarnya sebelum itu, aku sering juga mendengar cerita bahwa sumbangan pembangunan Taman Bacaan Al Quran yang atas nama Hamba Allah itu satu diantaranya berasal darimu. Tentu saja kami di kampung sangat bangga dengan uluran tangan dunsanak-dunsanak dari rantau seperti ini.
Antara lantas dengan tidak sebenarnya anganku menyampaikan cerita ini. Khawatir kau akan salah mengerti, seolah-olah aku ingin memangurmu.
Begini! Ingatkah kau hotar kita ketika selesai mairiak di sawah seberang bandar? Ketika kita terkapar kekenyangan sesudah sebelumnya terbit peluh menggumpal pairiakan? Ketika kita menghirup dalam-dalam asap rokok Soor? Dan seperti asap rokok yang bergulung ke udara, ketika itu kau berangan-angan bahwa kalaulah nanti ada orang kampung ini yang cukup kaya, akan kau datangi dia untuk mengusulkan agar orang itu bersedia memodali pembelian sebuah traktor yang sekaligus alat untuk memanen padi seperti yang kita lihat gambarnya di majalah robek Dunia Amerika. Agar orang kampung tidak pecah-pecah lagi kakinya menjaja dan membalik tanah. Melindih dan menyikat di dalam genangan air berlunau. Agar tangan mereka tidak terancam sabit tajam ketika menyabit. Agar kaki mereka tidak lagi gatal-gatal kena miang padi.
Kanti,
Telah berpuluh tahun berlalu. Angan-anganmu dulu itu tentulah hanya sekedar angan-angan yang terbang melayang bersama asap rokok. Karena sampai sekarang masih seperti itu juga kami menjaja sawah. Masih seperti itu juga cara kami menyabit dan mengirik. Bedanya hanyalah bahwa sekarang tidak ada lagi gotong royong seperti dulu itu. Anak-anak muda tidak ada lagi yang pandai menghalau kerbau penarik bajak. Tidak ada lagi yang pandai menyabit dan mengirik. Gelinggaman mereka merancah air berlunau dan gelinggaman pula mereka memegang tongkat pairiak.
Inilah yang mencemaskanku, Kanti. Kalau-kalau sebentar lagi tidak ada lagi orang yang mau bertani. Yang masih meneruskan pekerjaan bertani seperti cara-cara seisuk itu, serupa benar dengan bayangan kau ketika dulu berangan-angan. Sudah terampun-ampun kaki mereka retak-retak. Sudah hampir tidak sanggup mereka meneruskannya lagi. Karena cara bertani masih seperti itu juga.
Itulah yang mengingatkanku kepadamu, Kanti. Seandainya kau masih ingat peristiwa itu. Ketika angan-anganmu bergabun-gabun dengan asap rokok Soor. Adakah mungkin kiranya kau mencari orang kampung kita yang sudah cukup kaya di rantau sana, untuk mau membekali anak negeri ini dengan traktor seperti di dalam angan-anganmu dulu itu.
Seandainya saja kau dapat meluangkan waktu untuk pulang pula. Tentulah dapat kita bernostalgia. Berjalan-jalan di kampung. Akan aku perlihatkan kepadamu beberapa tumpak sawah yang sudah beberapa tahun dibiarkan liat. Yang punya sawah sudah di rantau semua. Yang akan menguruskan sudah setengah hati mengerjakan karena sudah tidak sanggup lagi. Tinggallah sawah itu tidak terurus.
Siapa tahu kau akan tergugah. Dan berpikir kembali dengan angan-angan lama itu. Kalau kau pulang, salah satu yang berubah, rokok Soor tidak dijual orang lagi. Pabriknya di Siantar sudah lama di tutup orang.
Sehingga inilah dulu Kanti. Kalau kau jadi pulang, bernostalgia kita di Darek Balai.
Wassalam dan maaf dari Konco Palangkin
Tan Baro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar