Senin, April 28

Cerpen: Mengitung Hari

Aku sedang menghitung hari. Menjelang hari yang ditunggu-tunggu. Dan karena sedang menjelang hari H yang ditulis dengan huruf besar ini, kami berkumpul-kumpul dirumah. Mamak rumah datang, ipar-ipar datang. Ramai di rumah.

Ramai ciloteh, cerita, nostalgia, memori. Ramai hotar. Ke kiri dan ke kanan. Dan ditengah keceriaan itu kami buka album-album lama. Album foto-foto yang terkumpul sejak lebih tiga puluh tahun yang lalu. Diantaranya ada foto-foto ketika aku masih bujangan di Bandung. Masih muda mentah, masih gagah…… dan ganteng. Seandainya mau pantas benar untuk jadi bintang sinetron kala itu, seandainya waktu itu sudah ada sinetron-sinetronan. Lalu foto ketika kami menikah dua puluh enam tahun yang lalu. Ehem…. Kami tampan dan cantik ketika itu. Lalu foto-foto ketika anak pertama lahir, ketika bayi kecil itu berumur beberapa bulan sampai dia berumur beberapa tahun. Sampai ketika adiknya lahir pula hampir tiga tahun kemudian. Ketika kami berwisata ke Bali, ke Dieng, ke Jogya. Jangan dihitung lagi ketika kami pulang kampuang, naik bendi. Berjalan-jalan ke kebun binatang, ke Atas Ngarai pergi ke tempat pical si Kai. Atau ketika kami menyaksikan perayaan khatam Quran di kampung.

Foto-foto itu bercerita banyak sekali. Rekaman foto-foto itu, yang selama ini tersimpan rapi di rak, tidak pernah dilihat-lihat lagi sejak lama, sekarang kami buka, kami lihat. Aku menari-nari diatas kenangan demi kenangan itu. Semua kembali segar dalam otakku. Seolah-olah iyanya baru kemarin saja. Baru kemarin rasanya aku berkeliaran di Bandung. Baru kemarin rasanya aku berkenalan dengan calon istriku lalu menikahinya. Baru kemarin kami punya anak yang datang satu persatu. Lalu pindah ke Jakarta dari Kalimantan Timur ketika anak-anak sudah bersekolah semua. Lalu mengukur jalan-jalan macet Jakarta setiap pagi dan petang. Larut dalam hiruk pikuk Jakarta. Padahal semua itu adalah sebuah perjalanan panjang berbilang puluhan tahun.

Malu-malu aku berkaca sesudah itu. Sendiri. Aku lihat raut wajah yang sudah kentara sekali berumur. Rambut yang sudah banyak putihnya dan memang kubiarkan putih. Biar ingat. Biar jangan lupa bahwa aku sedang menghitung hari. ‘Wahai manusia, sesungguhnya engkau sedang bekerja keras menemui Rabb mu dan engkau pasti menemuiNya’.

Dan sekarang aku berada di penghujung pergantian generasi. Anak-anak yang kutimang-timang selama ini, yang kulihat pertumbuhannya dari sehari ke sehari. Mereka telah bertumbuh dewasa. Telah tiba giliran mereka untuk melanjutkan amanah kekhalifahan ini. Dan aku sedang menghitung hari.

Aku bersyukur atas nikmat Allah ini. Yang tak terperikan besar dan banyaknya.
Allah Yang Maha Pemurah telah melimpahiku dengan nikmat yang sangat luar biasa.
Nikmat usia, nikmat sehat, nikmat kehidupan, nikmat keturunan, dan yang terutama nikmat iman dan Islam.

Pada kemarin yang dekat, seorang anak muda datang menghadapku sesuai dengan permintaanku sesudah sebelumnya kedua orang tuanya juga datang melamar anak gadisku yang paling tua. Tidak banyak yang aku rundingkan dengan anak muda yang menyatakan bersungguh-sungguh menginginkan anakku untuk menjadi istrinya itu. Tahukah kamu ma’na dari pernikahan dan ma’na dari menjadi seorang suami, tanyaku kepadanya. Agak terbata-bata dia menjawab. Menjadi suami, kataku, adalah kamu mengambil alih tanggung jawab terhadap seorang wanita untuk urusan dunia sampai akhirat. Apakah kamu paham? tanyaku pula. Anak muda yang bersemangat itu mengangguk. Dan aku ingatkan kepadanya firman Allah SWT, ‘Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari ancaman api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Padanya ada malaikat yang sangat tegas dan keras yang tidak mendurhakai Allah atas apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.’

Dan kini aku sedang menghitung hari yang sangat cepat sekali berganti.

Wassalamu’alaikum wr.wb.,

Tidak ada komentar: