Sudah lazim terdengar bahwa masa depan dunia seni lukis di Sumatera Barat belum menjanjikan. Setidaknya pendapat ini muncul dari masyarakat Sumatera Barat sendiri. Anggapan demikian tentu saja bukan tanpa alasan. Sering dikatakan bahwa karya seni (lukisan) merupakan kebutuhan lux yang hanya mampu dikomsumsi oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Sementara mayoritas masyarakat Sumatera Barat tingkat perekonomiannya justru masih tergolong menengah ke bawah. Bahkan di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas pun tidak semua meraka mengerti akan nilai sebuah karya seni, sehingga hanya sebagian kecil saja dari mereka yang betul-betul berminat.
Tetapi beberapa tahun terakhir tampaknya mulai terjadi arus balik. Paling tidak inilah yang terjadi di kota Bukittinggi. Dalam waktu yang cukup singkat (2003-2006) sudah berdiri 5 galeri secara berutut-turut, diantaranya: Army Galeridi Simpang Tanjung Alam, Dayang Galeri di Cingkariang, Galeri Yazid di Padang Luar, Plaza Lukisan di Padang Luar dan Rama Galeri di Pinang Balirik. Bahkan beberapa bulan ke depan dalam tahun 2007 ini juga akan muncul 2 galeri lagi, yang pertama merupakan cabang dari Army Gallry dan yang kedua benar-benar galeri baru, Sighi Galeri, yang berlokasi di pusat kota Bukittinggi (0 km). Jika demikian berarti hingga beberapa bulan ke depan di tahun 2007 ini akan terdapat 5 galeri lukisan di Bukittinggi. Padahal sebagai kotamadya, Bukittinggi tidak sebesar kota Padang yang merupakan ibukota propinsi Sumatera Barat, apalagi jika dibanding dengan kota-kota lainnya di Jawa dan Bali. Artinya kemunculan 5 galeri di kota Bukittinggi ini tentu merupakan hal yang cukup mengejutkan.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah sedemikian banyaknya pelukis dan pembeli lukisan di kota Bukittinggi? Sebelum kemunculan galeri-galeri tersebut, banyak orang (khususnya di kalangan perupa) mengira bahwa jumlah pelukis di Bukittinggi dapat dihitung dengan jari., yaitu beberapa pelukis yang biasanya mangkal di jam gadang dan panorama (Ngarai Sianok). Tetapi bila dilihat pada lukisan-lukisan yang terpajang di galeri-galeri yang ada di Bukittinggi ternyata banyak nama-nama yang sebelumnya tidak pernah di kenal sama sekali di kalangan komunitas pelukis/perupa di Sumatera Barat (khususnya di kota Padang sebagai pusat). Asraferi Sabri, Ketua Bukittinggi Institut dan salah seorang anggota dewan Kesenian Sumatera Barat, pernah mengumpulkan para pelukis yang ada di Bukittinggi dalam sebuah wadah yang bernama Komunitas Perupa Bukittinggi. Ia mengatakan: “Ternyata cukup banyak pelukis yang ada di kota ini. Yang tergabung dalam kepanitiaan saja sudah lebih kurang 25 orang, belum lagi yang tidak sempat dihubungi dan yang tidak hadir dalam pertemuan ini”. Diantara pelukis tersebut dapat kita sebutkan nama-nama seperti: Adji Agam, Amrianis, Arifin, Army, Asril, Asril Je, Dimas, Doni Fernando, Eftitis, Erianto, Hazil Akbar, Hendra Sardi, Ilham, Kirsanto, Lukman, Mirwan, Mardi, Ragil, Ramizal, Ramli, Redwar, Romy, Zaglul Fuadi dan Zulmenik. Jika semua pelukis ini produktif dalam berkarya dan menyalurkan lukisannya ke setiap galeri yang ada di Bukittinggi, tentu saja kehadiran 7 galeri tersebut menjadi klop. Namun demikian juga harus diakui bahwa ke 7 galeri tersebut tidak hanya menampung lukisan-lukisan pelukis yang berkarya di Bukittinggi, melainkan juga mendatangkan lukisan-lukisan dari Padang, Padang Panjang dan kota-kota lainnya di Sumatera Barat, bahkan juga ada yang mendatangkan lukisan-lukisan dari Jawa (seperti di Dayang Galeri).
Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah galeri-galeri tersebut sudah memiliki prospek yang menjanjikan? Tentu saja tidak mudah menjawab petanyaan demikian. Tetapi dari pengamatan dan bincang-bincang penulis dengan beberapa pemilliknya, umumnya mereka cukup optimis. Beberapa pertimbangan yang memicu semangat mereka adalah: Pertama Bukittinggi sebagai kota wisata selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Army Galeri dan Rama Galeri misalnya, mengakui bahwa galerinya sering dikunjungi oleh wisatawan dari Pekan Baru dan Malaysia. Melalui kerjasama dengan Travel, maka tidak sulit bagi mereka untuk mendatangkan tamu-tamu dari luar. Kedua, karena Bukittinggi juga merupakan kota dagang, maka tidak jarang orang-orang yang bergerak di bidang lukisan dari kota-kota lain sengaja mencari lukisan-lukisan khas budaya dan alam Minang Kabau ke Bukittinggi untuk kemudian dipasarkan di kota-kota lain. Bahkan sehubungan dengan ini Army Galeri sudah menjalin kerjasama dengan seorang pengusaha yang akhirnya membuka Merapi Galeri di Pekan Baru. Ketiga, meskipun tidak merata, masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya sudah mulai berminat terhadap lukisan. Melalui pameran-pameran (baik yang bersifat apresiatif maupu yang murni komersial) yang diikuti oleh galeri-galeri tersebut meraka cukup meraih penjualan yang lumayan. Keempat, menjual lukisan tidak sekaku barang-barang pabrik yang banyak dijual orang dan harganya juga sudah standar, sedangkan harga lukisan sangat relatif, tergantung minat dan apresiasi pembeli, sehingga tidak mengherankan jika kadang-kadang pemilikj galeri bisa meraup untung sekian kali lipat dari penjualan sebuah lukisan. Kelima, menyimpan lukisan pada prinsipnya juga sama dengan melakukan investasi (yang sering luput dari perhatian banyak orang). Bagaimana pun lukisan bukanlah barang yang basi bahkan justru harganya makin lama makin naik (“apalagi bila pelukisnya sudah meninggal”, kata mereka sambil bercanda). Secara umum pertimbangan-petimbangan inilah yang membuat mereka optimis.
Namun demikian harus diakui bahwa untuk menilai sukses sebuah galeri memang butuh waktu yang cukup lama. Galeri-galeri yang ada di Bukittinggi boleh dibilang masih seumur jagung (bandingkan dengan galeri-galeri besar yang ada di Bali misalnya). Artinya setiap galeri akan selalu diuji oleh situasi dan kondisi, karena bagaimana pun, dunia seni lukis (lukisan) juga mengalami pasang surut, bahkan juga tidak kebal dari arus mode, meskipun tidak begitu mencolok seperti pada dunia mode itu sendiri. Tidak bisa tidak, agar tetap eksis apalagi berkembang sebuah galeri memang tidak boleh tinggal diam. Mereka harus terus bersolek, baik dari segi pengadaan lukisan sesuai segmen yang dibidik, promosi maupun soal manajemen. Terlepas dari istilah galeri yang mereka gunakan masih bisa diperdebatkan, tetapi yang jelas kehadiran mereka tentu merupakan kabar baik bagi pihak-pihak yang terkait, terutama bagi para perupa (khususnya pelukis) di Sumatera Barat.
Erianto Anas
(Guru SMK N 1 Ampek Angkek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar