Jumat, Juli 24

Carut Marut Pariwisata Sumbar

HALUAN - Jumat, 24 Juli 2015 02:31

Perilaku buruk sejumlah masyarakat di sejumlah tempat wisata di Sumbar semakin menjadi-jadi dan terus jadi pergunjingan wisatawan lokal, domestik dan asing. Bahkan kon­disi ini juga mendapat respon dari Menteri Peren­ca­naan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Peren­canaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Adrinof Chaniago.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Adrinof Chaniago pernah mendapati langsung perilaku buruk itu di sebuah objek wisata di Padang. Adrinof prihatin dengan perilaku sejumlah masyarakat di tanah kelahi­rannya. Bila tidak dicegah dan terus berkembang biak, kelak perilaku buruk tersebut akan menenggalamkan Sumbar sebagai salah satu daerah kunjungan wisata nasional dan internasional.

Perilaku buruk di lokasi wisata itu amat kompleks. Mulai dari tarif masuk objek wisata yang tanpa tiket dan tidak jelas kepastian tarif resminya, biaya pungutan parkir yang selangit, harga atau tagihan menu makanan yang kelewat mahal, banyaknya pengamen dan pedagang asongan yang mengganggu kenyamanan wisatawan hingga rendahnya keramahtamahan pengelola objek wisata terhadap wisatawan.

Untuk biaya/tarif masuk objek wisata penjaga menetapkan harga sesuka-sukanya. Tarif tergantung plat nomor polisi mobil/sepeda motor. Jika berplat nomor polisi luar Sumbar, alias selain BA, tariff yang dikenakan biasanya lebih tinggi. Karena biaya yang diminta lebih tinggi dari ketentuan resmi, maka penjaga pos masuk pun tidak lagi memperlihatkan tiket dan beralasan tiket lagi dalam proses pencetakan dan lain sebagainya.

Sedangkan tarif/biaya parkir juga tidak jauh beda. Jika plat nomor polisi kendaraan bermotor (mobil/sepeda motor) itu selain BA maka biaya yang dikenakan lebih besar. Di seputaran lokasi Jam Gadang dan Pasar Atas Bukittinggi, selama suasana Hari Raya Idul Fitri petugas parkir di situ meminta biaya hingga Rp20.000 per mobil. Untuk mini bus dan bus tarifnya lebih tinggi lagi sampai mencapai Rp50.000 per bus. Karena tidak ada pilihan akhirnya pengendara/wisatawan pasrah dan tetap memberikan bayaran sebagaimana yang diminta.

Perilaku buruk lainnya terjadi di rumah makan/restoran/warung-warung makanan. Sebagian dari mereka mengenakan tariff menu di luar kelaziman. Biaya makan dua orang dengan menu yang rasanya sangat-sangat sederhana, ternyata jumlah tagihannya sampai mencapai Rp150.000, bahkan ada yang sampai Rp200.000. Padahal lazimnya hanya sekitar Rp50.000-an saja. Kondisi seperti ini nyaris terjadi di banyak kota-kabupaten yang punya objek wisata di Sumbar. Wisatawan merasa dikibuli, diperas atau bahasa Minangnya, merasa dipakuak.

Di beberapa tempat wisata, kenyamanan wisatawan juga terganggu oleh banyaknya jumlah pengamen, pedagang asongan dan pengemis. Pengamen tiba silih berganti. Dalam 10 menit datang pengamen, pedagang asongan dan pengemis yang berbeda. Mereka tak mau beranjak pergi sebelum diberi uang, atau dibeli produk yang ditaawarkan, meskipun sebetulnya produk itu tidak diperlukan sama sekali. Tentu saja kenyamanan wisatawan menjadi sangat terganggu.

Perilaku buruk sejumlah masyarakat di lokasi wisata jangan dibiarkan terus berkembang. Karena hal itu menjadi ancaman serius bagi kepariwisataan. Orang-orang atau wisatawan yang merasa kecewa dengan berbagai layanan di lokasi/objek pariwisata nanti akan melakukan kampanye negative gratis dari mulut ke mulut ataupun melalui media social facebook (FB), Twetter, Whatshap (WA) dan lain sebagainya.

Dari sederet hal yang menyebabkan maraknya perilaku buruk di lokasi objek wisata di Sumbar, penyebab lainnya yang tidak kalah menentukan adalah soal tingginya takaran sifat permisif kita. Banyak ketimpangan soal mahalnya ongkos parkir, tapi walikota/kapolres/Dandim/DPRD/tokoh masyarakat membiarkannya begitu saja. Mereka tidak pernah serius menindaknya. Begitu pula terhadap pungutan biaya masuk ke lokasi wisata yang dipungut seenaknya juga dibiarkan berlangsung terus-menerus.

Terhadap pemilik/pengelola rumah makan/restoran/kedai-kedai makanan di lokasi objek wisata yang menetapkan harga tinggi, jauh di luar batas kelaziman juga tidak pernah ditindak dengan sungguh-sungguh. Begitu pula terhadap pengamen, pedagang asongan dan pengemis dan acap kali mengganggu kenyamanan wisatawan juga tidak ditindak dengan sanksi yang memberikan efek jera bagi yang bersangkutan dan juga bagi pihak lainnya. Sehingga masalahnya tidak terus berulang dari tahun ke tahun. Pemerintah jangan terlalu permisif bahkan tidak berdaya menghadapi kebiasaan buruk masyarakatnya. **

Sumber

Tidak ada komentar: