oleh Ricko Bahemar pada 07 Februari 2011 jam 18:56
(Diambil dari catatan seorang teman)
Ayah…
Bagiku seorang yang namanya jarang kusebut.
Mengapa?
Sebab bagiku (wanita), sosok seorang ayah itu tidak memberi definisi apa-apa dalam kehidupanku.
Seseorang yang hampir dikatakan tidak ada rasa kepedulian terhadap anaknya.
Entah mengapa begitu dingin seorang yang dinamakan ‘Ayah’ itu.
Bila ditanya, siapakah orang yang paling aku sayang di dunia ini, jawabannya tentulah ibuku.
Karena bagiku, sosok ibulah yang paling berperan penting dalam kehidupanku selama ini.
Entah seperti anak-anak lainnya atau tidak, tapi yang pasti, aku kurang merasakan peran seorang ayah.
Ia sering pulang malam, dan ketika sampai rumah pun, tidak ada kehangatan yang diberikan olehnya.
Sosok yang membuatku geram dan akhirnya tidak ada penghormatan sama sekali padanya.
Saat itu ku ingat pasti tatkala usiaku beranjak 9 tahun, aku pernah mencemoohnya dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang anak pada ayahnya.
Hanya karena keinginanku tidak bisa dipenuhi olehnya.
Aku hanya berfikir, bahwa kalau sudah tidak mendapat perhatian darinya, paling tidak bentuk perhatian itu bisa tergantikan dengan terpenuhinya kebutuhanku.
Minta dibelikan mainan, baju baru dan sebagainya.
Namun ternyata itu nihil semua.
Semakin jengkel lah aku, bahkan aku tidak ingin dikecup keningnya oleh orang yang dinamakan ayah tersebut pada saat syukuran sederhana di hari ulang tahunku.
Beranjaknya usia, ketika saat itu aku masuk Sekolah Menengah Pertama, itulah pertama kalinya sejarah dalam hidupku, peran orang tua khususnya ayah sangat berarti besar.
Betapa paniknya aku, ketika pulang sekolah rok biru seragamku basah oleh cairan yang berwarna merah.
Aku pun kaget dan panik luar biasa, padahal saat itu ibuku tengah naik haji ke tanah suci bersama nenekku.
Yang ada di rumah, hanyalah aku bersama adik dan sosok yang dinamakan ‘Ayah’.
Ia lah yang menyambutku, tatkala aku menangis tersedu-sedu sampai rumah dalam keadaan sedih dan karena ditambah dengan perutku yang sakitnya luar biasa.
Aku malu. Lalu aku masuk kamar tanpa berkata apa-apa terhadap ayahku.
Ia menyusul ke kamarku dan menanyakan apa yang terjadi, lalu aku pun luluh dan mau menjelaskan keadaanku padanya saat itu.
Ayahku tersenyum dan berkata, “Gak apa-apa, ini pertanda anak gadis ayah sudah dewasa.
Kamu sudah mendapat tamu bulanan.
Nanti ya ayah belikan pembalut dulu.”.
Degg… hatiku teriris dengan kata-kata lembut darinya.
Ohh Tuhan, di saat kritis dan aku tidak tahu harus berbuat apa, justru ialah yang hadir menemaniku.
Ialah yang menenangkanku disaat kondisiku seperti itu, tanpa hadirnya peran ibu disampingku.
Semakin tersadar, ayahku mempunyai peran berarti dalam hidupku. Tidak hanya ibuku. Ialah sosok yang hebat itu, sosok yang hadir disaat aku membutuhkannya.
Pun saat aku menginjak usia dewasa, aku semakin mengerti arti dari hadirnya seorang ayah. Aku melihat beban berat sedang ditanggungnya. Aku melihat segala hal yang menjadi kebutuhanku perlahan terpenuhi.. Satu per satu bisa aku dapatkan. Bersama itu pula satu per satu uban putih muncul diantara rerimbunan rambut ayahku.
Ya. Semakin hari aku tersadar, banyak perubahan yang terjadi pada diri ayahku.
Warna rambutnya yang berubah, kerutan di wajahnya yang tidak lagi tersembunyi dan itu membuatku semakin yakin, bahwa ayahku tengah berjuang keras dalam membahagiakan keluarganya.
Seperti tatkala ia telat pulang kerja malam hari karena ada rapat di kantornya, ia selalu membawakan kami makanan yang bersisa dari rapat di kantornya.
Melihat wajahnya yang sumringah benar-benar menandakan rasa senangnya ketika bisa membawakan makan malam untuk anak serta istrinya.
Karena ayahku adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat.
Bahkan ketika ia tidak kuat untuk tidak menangis.
Ia harus terlihat tegas bahkan saat ia ingin memanjakanku.
Ayahku ingin anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, dan tidak tergantung pada siapapun tapi selalu membutuhkan kehadirannya.
Ayahku pernah berkata “Ayah akan selalu memelihara janggut, meski telah memutih,
agar kamu bisa ‘melihat’ para malaikat bergelantungan disini dan agar kamu selalu bisa mengenali ayah.”
Dan ayah juga penah berpesan: "Mbak, jangan cengeng ya meski kamu ini adalah seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecil ayah dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak!
Seorang laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kamu gantikan posisi Ayah di hatimu."
Ohh ayah.
Baru aku meyakini, bahwa betapa beruntungnya aku memiliki ayah sepertimu.
Ayah terbaik sepanjang perjalanan hidupku.
Seorang ayah yang memberi banyak pelajaran kehidupan.
Ayah..
Namamu kan selalu terpatri.
Meski sedikit perhatian yang tercurah.
Bagiku sudah sangat berarti.
Ketika peluhmu mengalir.
Yang begitu agung, maka..
Tercucilah rindu.
Pada alunan kata yang sejuk.
Terima kasih ayahku......
Untuk setiap peluh yang kau teteskan,
untuk setiap kerut dahimu yang tidak sempat kuhitung,
untuk setiap jaga sepanjang malam ketika aku sakit dan ketika kau merindukanku,
untuk tetes ‘air mata laki-laki’ yang begitu mahal ketika kau mengkhawatirkan aku,
untuk kepercayaanmu padaku, meski seringkali ku hianati.
Sungguh tidak akan pernah bisa terbalas segalanya.
Dan aku mencintaimu karena-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar