Dalam rubrik nomor 2 ini kita lanjutkan tamasya kita menikmati pantun-pantun Minangkabau. Dalam kesempatan ini kami sajikan 8 bait pantun lagi. Apresiasi singkat terhadap pantun-pantun tersebut, sebagai pedoman untuk mengecap kekhasan estetikanya, disajikan di bagian akhir tulisan ini.
9.
Sirauik bao ka rimbo,
Ambiak paukia injok lukah,
Karam di lauik kito timbo,
Ilang di tanah bak apolah.
10.
Cincin banamo Ganto Sori,
Tidak tamuek di kalingkiang,
Ilang kamano ka dicari?
Lauik bapaga bakuliliang.
11.
Gadang-gadang kayu di rimbo,
Sikaduduak danguang-mandanguang,
Adang-adang hati paibo,
Dima duduak dima bamanuang.
12.
Kalau ribuik Muaro Padang,
Si Ulando pasang mariam,
Marayau kabuik di hati dagang,
Dek alun tantu tampaik diam.
13.
Sambilu sariak manganai tulang,
Kuliknyo juo diladuangkan,
Sajak ketek sampai ka gadang,
Sakik nan tidak tatangguangkan.
14.
Kayu Aro bapaga bukik,
Bukik bapaga bilang-bilang,
Sansaro bukan sadikik,
Sajak ketek lalu ka gadang.
15.
Batu bulek batu basagi,
Bak apo mamijakkannyo,
Sudah tasurek di mantagi
Bak mano mailakkannyo.
16.
Balayia kapa dari Padang,
Masuak kualo Pulau Pinang,
Alang sakiknyo di ambo surang,
Kain basah kariang di pinggang.
Semua bait pantun di atas merefleksikan perasaan sedih dan nelangsa anak dagang Minangkabau di perantauan. Dalam baris-baris isi bait 9-12 terbayang perasaan gamang dagang Minangkabau di rantau nan jauh, juga perasaan kangen kepada Ranah Bundo. Terasa badan diri akan hilang ditelan rantau yang bertuah: karam di laut boleh ditimba, tapi kalau karam di tanah (baca: rantau) entah bagaimana nasib akhirnya. Mungkin tak akan dapat lagi menjejakkan kaki di tangga rumah ibunda di Ranah Minang sana. Baris-baris isi bait 10 sepertinya mengiaskan perantauan ke luar Sumatra, mungkin ke Jawa atau pulau-pulau lain: perantauan yang sudah menyeberangi laut, sudah keluar dari Pulau Andalas.
Lelaki Minang pergi marantau karena ingin mengubah nasib, ingin menjadi kaya, karena kemiskinan dan saritnya hidup di kampung. Kemiskinan yang diderita sejak kecil mungkin “sudah tasurek di mantagi” (sudah menjadi suratan tangan), sehingga tidak mungkin mengelak darinya (bait 15).
Bergedurunya si Pudin, si Amaik, dan banyak lelaki Minang yang lainnya menuju rantau bukan saja karena di kampung berguna belum, tapi karena orang nagari sering mencemeeh bahwa mereka sepertisarok balai yang hanya memberatkan masyarakat kampung. Dalam baris-baris isi bait 13-16 muncul beberapa kali kata sakik (dalam konteks ini artinya: kemiskinan) dan sansaro (sengsara). Kemiskinan dan kesengsaraan itulah antara lain yang menjadi faktor pendorong seorang dagang Minangkabau pergi merantau. Juga karena budaya matrilineal yang menempatkan kaum lelaki Minangkabau dalam posisi labil karena mereka tidak berkuasa atas harta pusaka dan tanah (lihat Mochtar Naim 1979). Tapi lebih dari itu, sistem matrilineal juga menimbulkan budaya materialisme yang khas di kalangan kaum wanita Minangkabau. Beberapa studi menunjukkan bahwa friksi di antara sesama saudara perempuan (terutama yang sudah bersuami) di Minangkabau cukup tinggi, membuat orang semenda di tengah keluarga matrilineal istrinya seperti berada di atas sangai.
Tapi rantau bukanlah surga yang menyediakan dengan mudah segala kesenangan yang dicita-citakan. Rantau memang tempat yang memberikan kemungkinan untuk mengubah nasib, tapi perlu perjuangan berat untuk meraihnya. Bila seorang sukses di rantau, maka tuah di kampung sudah menunggunya. Si penakluk rantau itu akan pulang ke Ranah Bundo untuk menunjukkan keberhasilannya, tanda ia kini sudah berhasil melawan dunia orang (lihatlah mobil-mobil rancak berseliweran jalan-jalan Sumatra Barat selama Lebaran). Dek ameh kameh, dek padi jadi, kata pepatah nenek moyang mereka. Nak kayo kuaik mancari, nak tuah batabua urai, tukuk pepatah yang lain.
Namun, bila seorangi perantau Minang karam (tidak sukses) di rantau, maka sudah agak jelas bahwa tepian tempat mandinya di Minangkabau sana bisa terasa lebih jauh dari bulan. Merantau Cina hadangannya. Mereka yang mengalami itu, hilangnya sering tidak dicari, hanyutnya sering tidak dipintas.
(bersambung)
Suryadi [Leiden University, Belanda]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar