Kamis, September 6

Pantun Minangkabau # 02 : MARI BERPANTUN MINANGKABAU

Salah satu kekayaan repertoar lisan Minangkabau adalah pantun. Sebagaimana ditemukan dalam masyarakat Melayu pada umumnya, seni verbal pantun digunakan dalam berbagai tuturan lisan dalam masyarakat Minangkabau.

Pantun Minangkabau adalah dokumen sosial masyarakat Minangkabau. Ia merefleksikan unsur budaya tertentu yang dihidupi oleh masyarakat Minangkabau. Struktur bahasanya mereprentasikan kecampinan ‘pandeka kato’ Minangkabau dalam bersilat lidah dan berbahasa kias. Pantun masih dipakai oleh orang Minangkabau sampai sekarang. Namun, dari segi estetika telah terjadi perubahan-perubahan pada pantun Minangkabau kontemporer seiring dengan perkembangan zaman.


Mulai minggu ini Padang Ekspres edisi Minggu menghadirkan kolom Pantun Minangkabau yang memuat pantun-pantun Minangkabau secara bersambung. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa selama ini belum ada buku yang mencoba menghimpun khazanah pantun Minangkabau secara relatif menyeluruh. Pantun-pantun yang disajikan dalam kolom ini diambil dari berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, baik klasik maupun modern. Namun, sebagian besar darinya disalin kembali dari naskah-naskah Minangkabau abad ke-19 yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda , yang beberapa di antaranya pernah dipostingkan secara fragmentaris di RantauNet (Mailing List Komunitas Minangkabau yang pertama dan terbesar di Internet (sejak 1993). Pada setiap edisi, pengasuh rubrik ini akan memberikan ulasan dan apresiasi secukupnya terhadap pantun-pantun yang dimuat, guna membantu generasi Minangkabau masa kini untuk memahami isinya.

Melalui kolom yang diasuh oleh Suryadi, dosen dan peneliti di Univeristas Leiden, diharapkan masyarakat Minangkabau dapat merasakan kembali unsur estetika dan ketinggian bahasa literer etnis Minangkabau, yang dimaksudkan sebagai penyeimbang terhadap serbuan budaya pop berlabel ‘globalisasi’ dalam masyarakat kita.

Selamat menikmati.


1. 
Urang Aceh mamarang kabun,
Badantang mariam ditembakkan,
Karateh mangarang pantun,
Datanglah kalam manyurekkan.

2. 
Limo Kaum Duo Baleh Koto,
Ciciakan dasun dalam padi,
Andak pantun pandeka kato,
Pikiakan sajo dalam hati.

3. 
Balari-lari dalam kabun,
Dalam kabun ado baparak,
Lai tau Adiak di pantun?
Dalam pantun ado kahandak.

4. 
Malanguah jawi nak 'rang Kubuang,
Malanguh maimbau kawan,
Manangih manyada untuang,
Untuang nan tinggi dari awan.

5. 
Anyuik parian dari tambang,
Panuah barisi galo-galo,
Jawek pakirim anak dagang,
Panuah barisi aia mato.

6. 
Siamang di ateh tunggua,
Manitih titian pantai,
Tagamang tagolek tidua,
Ampehkan tangan ka lantai.

7.
Silayok namonyo kumbang,
Tabang jo anak api-api,
Ilang lanyouk jangan ditumang,
Namaonyo anak laki-laki.

8. 
Anak buayo dalam tabek,
Mati ditubo ‘rang Sicincin,
Sadang nan kayo lai larek,
Kononlah kami suka miskin.

Setelah bait pengantar (bait 1) dapat dikesan cara orang Minangkabau menggubah pantun: baris-baris isi bait 2 mengilatkan bahwa orang bisa dengan mudah menciptakan pantun jika ia pendekar kata. Cara menciptakannya cukup dipikiran saja dalam hati (cukup aneh, bukan dipikirkan dengan otak). Ini menyiratkan sifat kelisanan genre pantun.

Dalam bait 3 cukup jelas dikatakan bahwa dalam pantun ada suatu maksud yang ingin disampaikan (dalam pantun ado kahandak). Rupanya pantun bukanlah sekedar bahasa berbunga-bunga. Pantun, sebagaimana ahalnya genre prosa, mengandung messagedan juga moral tertentu.

Baris-baris isi bait 4-8 merefleksikan tradisi marantau lelaki Minang, dan perasaan rindu kepada kampung salaman. Si aku lirik (yang tersamar halus dalam genre pantun Minangkabau) menggambarkan bahwa merantau sudah merupakan suatu keharusan bagi seorangi lelaki Minangkabau, baik yang kaya, apalagi yang miskin: Sadang nan kayo lai larek [marantau], kononlah kami suka miskin, kata pesan baris-baris isi di bait 8. Pesan itu seperti mengena telak di badan diri penulis sendiri.
(bersambung)

Tidak ada komentar: