Selasa, Juli 15

Rumah Gadang "Siti Nurbaya", Koto Tuo, Kecamatan Koto Tangah


Kali ini perjalanan wisatanya di Padang dan sekitarnya. Tempat yang menjadi tujuan adalah Rumah Gadang di Lubuk Minturun.

Rumah Gadang Siti Nurbaya.


Rumah adat yang saat ini ditempati oleh taci Dahniar dikenal banyak orang dengan sebutan rumah gadang Siti nurbaya karena rumah ini pernah menjadi lokasi shooting Sinetron Siti Nurbaya beberapa tahun silam.

Rumah yang menurut Taci sudah berusia ratusan tahun masih terlihat kokoh dan terawat, meskipun disana-sini terlihat banyak kayu yang sudah berlubang dimakan rayap. Hampir sebagian besar bagian rumah ini masih asli dan renovasi hanya dilakukan pada bagian yang sudah rusak parah.

Rumah yang secara fisik memang besar (luas ) ini berlokasi di Kota Tuo Kecamatan Koto Tangah Kotamadya Padang, disimpang tidak jauh dari jalan By Pass. Keberadaannya tertutup oleh sebuah lapau yang berjarak tidak jauh dari rumah yang kami tuju. Disebelah lapau tersebut terdapat tanah kosong yang pas untuk kami memarkirkan mobil. Beberapa orang tampak sedang asyik duduk-duduk di lapau, tidak terganggu dengan kedatangan kami seolah sudah mengerti kemana tujuan kami setelah turun dari mobil.

Rumah adat yang disebut sebagai rumah gadang Siti Nurbaya ini agak berbeda dengan rumah gadang yang biasanya bergonjong, meski atapnya melengkung tetapi tidak ada bagian yang lancip seperti tanduk kerbau.

Rumah ini memiliki beranda, dan untuk mencapainya ada janjang yang letaknya persis di tengah bagian depan rumah dengan anak-anak tangga di sisi kanan dan kiri. Bagian janjang juga dilindungi oleh atap yang pada rumah bagonjong biasanya disebut sebagai gonjong janjang. Atap yang manaungi bagian tangga ini berbentu segitiga.

Agak kontras dengan keseluruhan bangunan yang berkonstruksi kayu, bagian tangga ini terbuat dari batu dan memiliki empat pilar seperti rumah modern bergaya Eropa. Warnanya yang kuning gading tampak serasi dengan warna coklat kayu yang seolah menjadi latar belakangnya.

Masih di bagian halaman depan, dekat dengan tangga menuju rumah terdapat bangunan seperti kolam yang disebut sebagai kulah. Secara filosofi keberadaan kulah yang dulu berisi air yang dipergunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah adalah sebagai pelambang penyuci jiwa karena dari dalam rumah akhlak manusia mulai dibentuk, sehingga siapapun yang hendak memasuki rumah harus membersihkan kakinya yang melambangkan pembersihan diri. Saat ini kedua kolam itu sudah tidak berfungsi lagi, tidak berisi air.

Setelah melewati tangga kita akan sampai pada sebuah ruang terbuka. Kami diterima dengan ramah oleh Taci Dahniar di tempat ini, bersantai duduk sambil mendengarkan penuturan beliau tentang rumah gadang yang usianya sudah lebih dari seratus tahun. Ruang tempat kami diterima pertama kali dinamakan ruang Tapi, aku menyebutnya serambi.

Serambi adalah sebuah ruang terbuka seperti balkon yang dibatasi birai, pagar rendah yang memiliki corak hias sederhana. Lantainya terdiri dari papan yang sebagian masih orisinil. Terdapat Kursi dan meja serta bangku panjang yang ditempatkan disisi kanan dan kiri rumah, sebagai tempat orang rumah duduk menerima tamu.

Dinding belakang yang menjadi batas ruang depan dengan ruang tengah ini juga masih asli, terbuat dari kayu yang sekarang sudah banyak berlubang termakan rayap. Ada tonggak yang berasal dari batang pohon, bentuknya tidak lurus, tetapi itu menambah kesan artistik yang unik.

Sambil bercerita, Taci mengizinkan kami masuk untuk melihat-lihat sampai kedalam.

“Masuaklah nak, silahkan lihat-lihat apa yang ingin dilihat” katanya.
“boleh kami ambil gambarnya Taci?” tanyaku yang sebenarnya merupakan permintaan izin. Permintaanku dikabulkan, kamipun masuk.

Antara serambi dan ruang tengah dihubungkan oleh pintu yang nampaknya merupakan pintu utama bagunan rumah.

Ruang tengah tidak terlampau luas, tetapi cukup untuk menampung banyak orang. Ruang ini menurut Taci dahulunya digunakan sebagai tempat kumpul dan bemusyawarah, sekarang nampak lengang hanya satu set kursi dan meja bundar kecil yang mengisi.

Pada bagian lantai yang tepat berada didepan pintu yang akan membawa kita ke ruang dalam terlihat adanya bagian lantai yang memiliki celah memanjang dengan lebar celah yang tidak terlalu besar, mungkin selebar dua jari. Menurut Taci Dahniar, celah ini berfungsi tempat mengalirkan air ke tanah ketika memandikan jenasah anggota keluarga di atas rumah.

Sebagian lantai masih asli dan bagian-bagian yang rusak dan rapuh ditambal dengan tripleks.

Dari ruang tangah kami terus masuk lebih dalam, ke ruangan yang memiliki atap yang tinggi sehingga kesan luas begitu terasa. Ruang ini memiliki beberapa ruang yang masih digunakan sebagai bilik atau kamar.

Beberapa tonggak berdiri d tengah ruang.
Pada mulanya ruangan ini memiliki pagu, loteng tempat penyimpanan, tetapi sekarang sudah dibongkar sehingga ruangan yang tanpa plafon ini semakin kelihatan sangat luas.

Dibagian belakang ruang dalam yang terdiri dari beberapa bilik adalah dapur. Beberapa perabot rumah tergantung disitu.

Melihat keseluruhan arsitektur rumah ini agak sulit bagiku untuk menentukan tipe rumah gadang ini, sebab pengetahuanku tentang rumah gadang baru sebatas tipe rumah gadang dari lareh Bodi Caniago dan lareh Koto Piliang.

Ada yang bilang ini merupakan rumah adat Rantau Pasisie karena memiliki serambi yang terbuka yang merupakan ciri khasnya. Rasanya ketidaktahuanku agak sedikit beralasan karena memang beberapa tipe rumah adat yang pernah ada dulu sekarang semakin lama semakin dilupakan orang dan tidak popular lagi, misalnya Rumah Adat Tipe “Tungku Nasi”, Rumah Adat “Kanjang Padati” dan Rumah Adat “Dangau Layag-layang”.

1 komentar:

Dieng Indonesia mengatakan...

wahh keren banget kak foto fotonya


Penasaran dengan dataran tinggi terluas kedua ? Yuk ke Dieng cek Paket Wisata Dieng