Sjafruddin Prawiranegara setelah ditunggu sekian lama, gelar pahlawan nasional akhirnya disematkan kepada MR Sjafruddin Prawiranegara. Momen penganugerahan gelar pahlawan ini hendaknya diikuti pelurusan sejarah dan pembenahan nomenklatur urutan Presiden RI.
Sejarawan Asvi Warman Adam kembali menegaskan, Sjafruddin adalah Presiden ke-2 RI. Alasannya, pria kelahiran Banten 28 Februari 1911 itu pernah menjabat Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang dibentuk ketika Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta ditangkap Belanda pada Agresi Militer II 1948. “Meski memakai nama ‘ketua’ bukan ‘presiden’, beliau telah menjalankan fungsi kepresidenan,” kata Asvi.
Sejarah mencatat, atas usaha PDRI yang dipimpin Sjafruddin itu, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia dan membebaskan kembali Soekarno-Hatta dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota RI saat itu.
Selain Sjafruddin, menurut Asvi, Presiden yang ‘hilang’ dalam sejarah republik ini adalah M Assat. Dia adalah Presiden RI ketika Indonesia berubah bentuk menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Wilayah RI saat RIS adalah Yogyakarta. “Bagaimana pun Assat pernah menjabat ‘Presiden RI’, dan Soekarno adalah Presiden RIS saat itu,” kata Asvi.
Jika diurutkan, papar Asvi, Presiden ke-1 RI adalah Soekarno, Presiden ke-2 RI Sjafruddin Prawiranegara, Presiden ke-3 RI M Assat, Presiden ke-4 RI Suharto, Presiden ke-5 RI BJ Habibie, Presiden ke-6 RI KH Abdurrahman Wahid, Presiden ke-7 RI Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-8 RI Susilo Bambang Yudhoyono. “Harusnya foto presiden di Istana Negara ditambahi dua foto, Sjafruddin dan Assat,” cetus ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini.
Sekilas Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Nama Mr. (Meester in de Rechten) Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa, baik dimasa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan maupun sesudahnya. Lahir di Banten, dari keturunan ningrat campuran Minangkabau, Sumatera Barat dan Banten pada 28 Februari 1911.
Dalam tahun 2011 ini Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang diketuai A.M. Fatwa menggelar sejumlah kegiatan seminar dan diskusi di beberapa kota. Sabtu (15/10) di Gedung Kementerian Keuangan RI berlangsung acara peluncuran dan diskusi buku “Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah”. Sebelum itu dalam acara di Gedung Bank Indonesia 28 Februari diluncurkan edisi baru biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Alllah SWT ditulis oleh budayawan Ajib Rosidi.
Sekilas tentang “apa dan siapa” Sjafruddin Prawiranegara dapat dijelaskan bahwa beliau adalah tokoh yang banyak jasanya terhadap tanah air, bangsa dan negara. Buku-buku teks sejarah perlu mengungkap secara jujur dan adil peran Sjafruddin yang membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia disingkat PDRI di Sumatera Barat (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949) di Halaban, Payakumbuh, lalu bergerilya ke Koto Tinggi, Bukittinggi, Sumpur Kudus dan daerah sekitar di Minangkabau. PDRI yang diumumkan di Koto Tinggi 22 Desember 1948 adalah benteng republik di masa perang kemerdekaan untuk menyelamatkan eksistensi negara dan pemerintahan RI yang nyaris lenyap dari peta bumi dengan terjadinya Agresi Militer Belanda II atas Ibukota RI Yogyakarta (19 Desember 1948).
Sjafruddin yang pernah menjadi anggota Badan Pekerja KNIP, Menteri Kemakmuran Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pertama, merupakan tokoh peletak dasar-dasar pengelolaan keuangan, fiskal dan moneter di negara kita.
Pemikiran Sjafruddin yang dituangkan dalam bentuk buku, naskah khutbah, brosur serta artikel yang banyak dimuat di majalah Panji Masyarakat, Kiblat, Suara Masjid patut dijadikan referensi dan pegangan bagi generasi sekarang untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Pada hemat penulis, Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh yang membuka wawasan ekonomi Islam di Indonesia. Hal itu berarti wacana tentang ekonomi Islam telah lama hadir di tanah air. Dalam kumpulan karangan terpilih yang diterbitkan berjudul. “Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (1988), terdapat tulisan beliau yang menjelaskan salah satu sebab timbulnya kekacauan sosial dan jurang pemisah yang semakin lebar antara mereka yang kaya dan miskin di dunia ini, adalah karena agama dipisahkan dari ekonomi. Padahal, ekonomi tidak boleh dijauhkan dari ajaran-ajaran agama. Islam mengajarkan, dalam usaha kita mencari nafkah untuk keperluan hidup, kita sekali-kali tidak boleh melupakan kewajiban terhadap sesama manusia, khususnya terhadap orang-orang yang miskin dan lemah.
Dalam Islam, pasar dan perdagangan harus bebas dari unsur kecurangan, spekulasi, monopoli dan keuntungan yang melampaui batas, tegas Sjafruddin. Tahun 1957 Sjafruddin menyampaikan ceramah di depan sebuah forum mahasiswa di Jakarta, “Pembangunan ekonomi dengan konsep sejitu apapun di atas kertas tidak akan ada maknanya kalau tidak terlebih dahulu melakukan perubahan radikal atas ruhaniah bangsa ini. Pembangunan dan pembersihan jiwa harus didahulukan, sebelum kita membangun masyarakat yang adil makmur. Pembangunan dan pembersihan jiwa ini resepnya hanya bisa diberikan oleh agama.”
Dalam paper “Motif atau Prinsip Ekonomi Diukur Menurut Hukum-Hukum Islam” (Suara Partai Masjumi, no 11/12, November – Desember, 1951), Sjafruddin menjelaskan, bahwa di dalam suatu masyarakat, dimana Islam merupakan kekuatan yang hidup dan nyata, motif ekonomi tidak lagi merupakan hukum fundamental dalam usaha manusia. Bahkan sebaliknya, pertimbangan-pertimbangan agama, yang menurut ilmu ekonomi merupakan faktor yang kadang-kadang mempengaruhi motif ekonomi, lebih diutamakan daripada motif ekonomi itu sendiri.
Manusia yang harus didahulukan, bukan kapital, demikian ditegaskan oleh Sjafruddin pada tahun 1966 dalam tulisannya berjudul “Membangun Kembali Ekonomi Indonesia”. Beliau mengingatkan pemerintah Orde Baru waktu itu, jangan terlalu terpukau oleh peranan dan kontribusi modal asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya. Mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila, yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, ujarnya.
Sjafruddin yang semasa hidupnya sering berdakwah, tidak sepaham dengan penafsiran yang mempersempit pengertian riba yaitu identik dengan interest atau bunga bank. Menurut beliau, tafsir yang salah tentang riba akan mengaburkan pandangan dan pengertian kita tentang tujuan Islam yang sebenarnya. Dengan alasan-alasan pokok yang didasarkan pada ayat-ayat Al Quran dan Hadis, beliau sampai pada kesimpulan bahwa riba adalah keuntungan berupa uang, barang atau jasa yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar perikemanusiaan. Menurutnya, jika kita berdagang semata-mata didorong oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan, maka keuntungannya adalah termasuk riba.
Bahwa yang diharamkan Allah SWT bukanlah bukanlah memperalat dan memeras uang, sebab uang tidak dapat diperas. Tetapi yang dilarang Allah adalah memperalat dan memeras sesama manusia, baik dengan mempergunakan uang maupun barang-barang atau jasa-jasa lainnya sebagai alat pemeras. Riba dapat dicegah kalau tujuan hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap sesama makhluk Allah sebagaimana diajarkan-Nya dalam Al Quran dan dijelaskan dalam Hadis Nabi SAW, tegasnya.
Pemikiran ekonomi Islam yang disampaikan Sjafruddin berorientasi untuk membangun “ekonomi yang bebas riba”. Menurut beliau, kelemahan para ulama kita ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran mengenai riba adalah mereka melupakan “economic engineering”. Lebih setengah abad yang lampau, Sjafruddin telah mengutarakan gambaran hari depan Islam di dalam New Economic Orde. Andaikata beliau sekarang masih hidup tentu beliau akan gembira menyaksikan perkembangan ekonomi syariah di tanah air dan di dunia.
Mengenai zakat, Sjafruddin menggaris-bawahi tujuan zakat adalah supaya perbedaan material antara orang kaya dan orang miskin jangan terlalu menyolok. Negara dan masyarakat wajib mengusahakan, jangan sampai ada orang miskin jadi mati kelaparan atau meninggal karena tidak bisa pergi ke dokter atau membeli obat karena tidak punya uang. Pendek kata, zakat maal adalah pajak yang harus dibayar oleh orang yang mampu, menurut kemampuannya dan menurut keperluan masyarakat guna menghilangkan/mengurangi kemiskinan, tegasnya.
Zakat bukanlah rumusan ajaib yang dapat secara langsung dipakai untuk memecahkan semua masalah kemiskinan. Oleh karena itu Sjafruddin yang berpikir melampaui zamannya menegaskan perlunya zakat diatur dengan undang-undang negara.
Sjafruddin Prawiranegara berpulang ke rahmatullah pada 15 Februari 1989 di Jakarta. Selesai shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, menjelang diberangkatkan ke TPU Tanah Kusir, Mohammad Natsir atas nama sahabat seperjuangan dan mewakili tokoh Masyumi yang masih hidup saat itu memberi sambutan perpisahan. Pak Natsir berkata, “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan almarhum Sjafruddin Prawiranegara, selain kata: Istiqamah!”.
Tulisan ini penulis sudahi dengan mengutip Johannes Riberu dalam buku Mr.Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah (Jakarta: Harian Republika, 2011), ”Berdasarkan paham etis ini, Sjafruddin dan juga rekan-rekannya Kasimo, Simatupang, Mohamad Roem, Mohammad Natsir, menghayati paham bahwa kebesaran manusia tidak terdiri atas kekayaan, kegermelapan dan kemewahan hidup, tidak terdiri atas penampilan yang serba ‘wah!’, melainkan atas kebesaran dan kekesatriaan jiwa, yang tampil dalam pengabdian kepada sesama tanpa banyak berbicara dan bergembar-gembor.”
Karakter dan sifat kepribadian yang menonjol pada diri Sjafruddin adalah jujur, sederhana dan terbuka. Jujur dalam perkataan dan perbuatan. Semoga Allah SWT meridhai perjuangan dan amal-bakti Bapak Sjafruddin Prawiranegara semasa hidupnya dan menerimanya sebagai amal shaleh. Aamiin.
Sekilas Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Nama Mr. (Meester in de Rechten) Sjafruddin Prawiranegara tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa, baik dimasa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan maupun sesudahnya. Lahir di Banten, dari keturunan ningrat campuran Minangkabau, Sumatera Barat dan Banten pada 28 Februari 1911.
Dalam tahun 2011 ini Panitia Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang diketuai A.M. Fatwa menggelar sejumlah kegiatan seminar dan diskusi di beberapa kota. Sabtu (15/10) di Gedung Kementerian Keuangan RI berlangsung acara peluncuran dan diskusi buku “Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah”. Sebelum itu dalam acara di Gedung Bank Indonesia 28 Februari diluncurkan edisi baru biografi Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Alllah SWT ditulis oleh budayawan Ajib Rosidi.
Sekilas tentang “apa dan siapa” Sjafruddin Prawiranegara dapat dijelaskan bahwa beliau adalah tokoh yang banyak jasanya terhadap tanah air, bangsa dan negara. Buku-buku teks sejarah perlu mengungkap secara jujur dan adil peran Sjafruddin yang membentuk dan memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia disingkat PDRI di Sumatera Barat (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949) di Halaban, Payakumbuh, lalu bergerilya ke Koto Tinggi, Bukittinggi, Sumpur Kudus dan daerah sekitar di Minangkabau. PDRI yang diumumkan di Koto Tinggi 22 Desember 1948 adalah benteng republik di masa perang kemerdekaan untuk menyelamatkan eksistensi negara dan pemerintahan RI yang nyaris lenyap dari peta bumi dengan terjadinya Agresi Militer Belanda II atas Ibukota RI Yogyakarta (19 Desember 1948).
Sjafruddin yang pernah menjadi anggota Badan Pekerja KNIP, Menteri Kemakmuran Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, dan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pertama, merupakan tokoh peletak dasar-dasar pengelolaan keuangan, fiskal dan moneter di negara kita.
Pemikiran Sjafruddin yang dituangkan dalam bentuk buku, naskah khutbah, brosur serta artikel yang banyak dimuat di majalah Panji Masyarakat, Kiblat, Suara Masjid patut dijadikan referensi dan pegangan bagi generasi sekarang untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Pada hemat penulis, Sjafruddin Prawiranegara adalah tokoh yang membuka wawasan ekonomi Islam di Indonesia. Hal itu berarti wacana tentang ekonomi Islam telah lama hadir di tanah air. Dalam kumpulan karangan terpilih yang diterbitkan berjudul. “Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (1988), terdapat tulisan beliau yang menjelaskan salah satu sebab timbulnya kekacauan sosial dan jurang pemisah yang semakin lebar antara mereka yang kaya dan miskin di dunia ini, adalah karena agama dipisahkan dari ekonomi. Padahal, ekonomi tidak boleh dijauhkan dari ajaran-ajaran agama. Islam mengajarkan, dalam usaha kita mencari nafkah untuk keperluan hidup, kita sekali-kali tidak boleh melupakan kewajiban terhadap sesama manusia, khususnya terhadap orang-orang yang miskin dan lemah.
Dalam Islam, pasar dan perdagangan harus bebas dari unsur kecurangan, spekulasi, monopoli dan keuntungan yang melampaui batas, tegas Sjafruddin. Tahun 1957 Sjafruddin menyampaikan ceramah di depan sebuah forum mahasiswa di Jakarta, “Pembangunan ekonomi dengan konsep sejitu apapun di atas kertas tidak akan ada maknanya kalau tidak terlebih dahulu melakukan perubahan radikal atas ruhaniah bangsa ini. Pembangunan dan pembersihan jiwa harus didahulukan, sebelum kita membangun masyarakat yang adil makmur. Pembangunan dan pembersihan jiwa ini resepnya hanya bisa diberikan oleh agama.”
Dalam paper “Motif atau Prinsip Ekonomi Diukur Menurut Hukum-Hukum Islam” (Suara Partai Masjumi, no 11/12, November – Desember, 1951), Sjafruddin menjelaskan, bahwa di dalam suatu masyarakat, dimana Islam merupakan kekuatan yang hidup dan nyata, motif ekonomi tidak lagi merupakan hukum fundamental dalam usaha manusia. Bahkan sebaliknya, pertimbangan-pertimbangan agama, yang menurut ilmu ekonomi merupakan faktor yang kadang-kadang mempengaruhi motif ekonomi, lebih diutamakan daripada motif ekonomi itu sendiri.
Manusia yang harus didahulukan, bukan kapital, demikian ditegaskan oleh Sjafruddin pada tahun 1966 dalam tulisannya berjudul “Membangun Kembali Ekonomi Indonesia”. Beliau mengingatkan pemerintah Orde Baru waktu itu, jangan terlalu terpukau oleh peranan dan kontribusi modal asing dalam pembangunan, yang sampai mengakibatkan pemerintah kurang melindungi modal dan tenaga “manusia Indonesia” yang benar-benar turut berpartisipasi dalam usaha pembangunan bangsanya. Mengutamakan modal sudah terang berlawanan dengan Pancasila, yang mengutamakan manusia tanpa melupakan kebutuhan-kebutuhan materiilnya, ujarnya.
Sjafruddin yang semasa hidupnya sering berdakwah, tidak sepaham dengan penafsiran yang mempersempit pengertian riba yaitu identik dengan interest atau bunga bank. Menurut beliau, tafsir yang salah tentang riba akan mengaburkan pandangan dan pengertian kita tentang tujuan Islam yang sebenarnya. Dengan alasan-alasan pokok yang didasarkan pada ayat-ayat Al Quran dan Hadis, beliau sampai pada kesimpulan bahwa riba adalah keuntungan berupa uang, barang atau jasa yang diperoleh dengan cara-cara yang melanggar perikemanusiaan. Menurutnya, jika kita berdagang semata-mata didorong oleh nafsu untuk memperoleh keuntungan, maka keuntungannya adalah termasuk riba.
Bahwa yang diharamkan Allah SWT bukanlah bukanlah memperalat dan memeras uang, sebab uang tidak dapat diperas. Tetapi yang dilarang Allah adalah memperalat dan memeras sesama manusia, baik dengan mempergunakan uang maupun barang-barang atau jasa-jasa lainnya sebagai alat pemeras. Riba dapat dicegah kalau tujuan hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah SWT dan berbuat baik terhadap sesama makhluk Allah sebagaimana diajarkan-Nya dalam Al Quran dan dijelaskan dalam Hadis Nabi SAW, tegasnya.
Pemikiran ekonomi Islam yang disampaikan Sjafruddin berorientasi untuk membangun “ekonomi yang bebas riba”. Menurut beliau, kelemahan para ulama kita ketika menafsirkan ayat-ayat Al Quran mengenai riba adalah mereka melupakan “economic engineering”. Lebih setengah abad yang lampau, Sjafruddin telah mengutarakan gambaran hari depan Islam di dalam New Economic Orde. Andaikata beliau sekarang masih hidup tentu beliau akan gembira menyaksikan perkembangan ekonomi syariah di tanah air dan di dunia.
Mengenai zakat, Sjafruddin menggaris-bawahi tujuan zakat adalah supaya perbedaan material antara orang kaya dan orang miskin jangan terlalu menyolok. Negara dan masyarakat wajib mengusahakan, jangan sampai ada orang miskin jadi mati kelaparan atau meninggal karena tidak bisa pergi ke dokter atau membeli obat karena tidak punya uang. Pendek kata, zakat maal adalah pajak yang harus dibayar oleh orang yang mampu, menurut kemampuannya dan menurut keperluan masyarakat guna menghilangkan/mengurangi kemiskinan, tegasnya.
Zakat bukanlah rumusan ajaib yang dapat secara langsung dipakai untuk memecahkan semua masalah kemiskinan. Oleh karena itu Sjafruddin yang berpikir melampaui zamannya menegaskan perlunya zakat diatur dengan undang-undang negara.
Sjafruddin Prawiranegara berpulang ke rahmatullah pada 15 Februari 1989 di Jakarta. Selesai shalat jenazah di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, menjelang diberangkatkan ke TPU Tanah Kusir, Mohammad Natsir atas nama sahabat seperjuangan dan mewakili tokoh Masyumi yang masih hidup saat itu memberi sambutan perpisahan. Pak Natsir berkata, “Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menggambarkan almarhum Sjafruddin Prawiranegara, selain kata: Istiqamah!”.
Tulisan ini penulis sudahi dengan mengutip Johannes Riberu dalam buku Mr.Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah (Jakarta: Harian Republika, 2011), ”Berdasarkan paham etis ini, Sjafruddin dan juga rekan-rekannya Kasimo, Simatupang, Mohamad Roem, Mohammad Natsir, menghayati paham bahwa kebesaran manusia tidak terdiri atas kekayaan, kegermelapan dan kemewahan hidup, tidak terdiri atas penampilan yang serba ‘wah!’, melainkan atas kebesaran dan kekesatriaan jiwa, yang tampil dalam pengabdian kepada sesama tanpa banyak berbicara dan bergembar-gembor.”
Karakter dan sifat kepribadian yang menonjol pada diri Sjafruddin adalah jujur, sederhana dan terbuka. Jujur dalam perkataan dan perbuatan. Semoga Allah SWT meridhai perjuangan dan amal-bakti Bapak Sjafruddin Prawiranegara semasa hidupnya dan menerimanya sebagai amal shaleh. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar