Jumat, Januari 20

Simpang Ampek, BUKAN Simpang Empat..!


Ibukota Pasaman Barat Simpang Empat sejak tanggal 19 September 2011 resmi namanya disebut Simpang Ampek. Kecamatan Gunung Tulas, diresmikan namanya jadi Gunuang Tuleh, dan Sungai Aur diresmikan menjadi Sungai Aua.

Hal itu disampaikan Bupati Pasbar H. Baharuddin R yang didampingi Wabup Pasbar H. Syahrul Dt Marajo, dalam peresmian nama ibukota Pasbar, dan nama kecamatan, nagari, jorong, dan nama jalan di halaman kantor bupati Simpang Ampek, Senin (19/9).

Hadir juga dalam peresmian tersebut, Ketua LKAAM Sumbar Drs. H. M. Sayuti Dt Panghulu, M.Pd. Pemangku Adat Simpang Ampek Hendri Eka Putra.SE Daulat Parik Batu, dan sejumlah tokoh masyarakat di Pasbar.

Pengembalian nama-nama daerah ke bahasa aslinya itu, kata Baharuddin, sebagai realisasi Perda nagari yang telah disahkan DPRD setempat baru-baru ini.

Selanjutnya, sebut Baharuddin, untuk nama Kecamatan Parit, diganti dengan Parik Koto Balingka. Ujung Gading, diresmikan namanya Ujuang Gadiang. Kecamatan Silaping diresmikan sebutannya dengan Silapiang.

Sebutan bundo kandung, dikembalikan namanya bundo kanduang. Sebutan Suka Menanti, disesuaikan lagi dengan Suko Menanti. Selama ini sebutan Padang Tujuh, juga dikembalikan menjadi Padang Tujuah. Dan Air Bangis dikembalikan kenama aslinya Aia Bangih. Nagari Sinurut, dikembalikan kenama aslinya Sinuruik.

Dengan demikian seluruh nama nama-nama kecamatan, nagari, jorong, di Pasaman Barat dikembalikan kepada nama-nama aslinya. Sehingga budaya Minangkabau itu di Pasaman Barat, imbuh bupati akan tetap selalu eksis dan masyarakat bangga dengan bahasa sendiri atau bahasa aslinya.

Ditempat yang sama Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Panghulu, memberikan apresiasi kepada bupati Pasbar H. Baharuddin R yang punya inisiatif untuk mengembalikan nama-nama daerah ke bahasa aslinya Minangkabau. Sebab, tidak semua bahasa Minang yang bisa dijadikan bahasa Indonesia, yang mengandung arti yang benar.

”Di Sumbar baru Pasaman Barat yang pertama punya inisiatif mengembalikan nama-nama kecamatan, nagari, kampung, jalan ke bahasa aslinya Minangkabau,” kata Sayuti.

Seiring dengan itu, kata Sayuti, falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah itu, diharapkan akan berjalan dengan baik di bumi Pasaman Barat

" AYO KEMBALIKAN LAGI KE EJAAN MINANG " 

Saya sangat setuju seandainya nama yang telah diIndonesiakan tersebut dikembalikan ke bentuk bahasa asalnya.
Seperti nama Pauh Kambar dikembalikan menjadi Pauah Kamba, Sungai Sarik dikembalikan menjadi Sungai Sariak, Alang Lawas dikembalikan menjadi Alang Laweh dan lain sebagainya. Saya melihat nama-nama daerah atau kota yang telah diIndonesiakna itu seakan menyiratkan ketidakpercayaan diri orang Minang sebagai putra Minang. Sangat kontradiktif dengan perilaku dan budaya Minang yang memperlihatkan dominasinya di kancah Nasional. Sebut saja Bapak Pendiri Bangsa ini yang kebanyakan adalah Putra Minang, seperti Tan Malaka, M Hatta, Sutan Syahrir, M Natsir, dll.

Bagitu juga dengan budaya kuliner yang sudah terkenal di seluruh pelosok Tanah Air bahkan ke mancanegara. Rumah Makan Padang atau Masakan Padang sudah menjadi kalimat yang tak lazim lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Sangat ironi dengan penamaan daerah tadi yang bahkan telah merambah ke dalam bidang pemerintahan.

Pemerintah Daerah dan Kota di Sumatera Barat seakan menyetujui penamaan yang telah salah ini. Saya tidak mengetahui pasti kenapa masyarakat Minang membiarkan hal ini sampai terjadi. Apakah hal tersebut dikaitkan dengan peristiwa PRRI atau yang lainnya, sepertinya harus diperlukan pembuktian lebih lanjut.

Kita lihat daerah lain selain Sumatera Barat, dimulai dari Aceh sampai ke Papua, mereka sangat bangga memakai nama tempat atau daerahnya dengan bahasa setempat. Contoh: Meulaboh (Aceh), Aek Pining (Sumut), Kuto Besak (Sumsel), Dayehkolot (Jabar), Nabire (Papua) dan masih banyak lainnya.

Suatu kali ketika saya berbincang-bincang dengan teman-teman yang berasal bukan dari Sumatera Barat, mereka menanyakan tentang arti dari nama daerah yang ada di Sumatera Barat. Waktu itu mereka menanyakan arti “Tabing”. Awalnya saya dengan ringan menjawab, dalam bahasa Minang kata tersebut dilafalkan dengan “Tabiang” yang berarti Tebing. Lalu saya kaget sendiri dengan kata dalam bahasa Indonesia nya yang disebut dengan “Tabing” bukan “Tebing”. Pengalaman ini menggelitik saya dan dengan spontan mengingat nama-nama lain yang kebanyakan tidak memiliki padanan yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar.

Lewat tulisan ini saya menghimbau agar masyarakat Minang kembali menyadari bahwa dengan mengembalikan nama tempat atau daerah tersebut adalah salah satu sikap untuk memajukan budaya dengan berbahasa Minang seutuhnya. Dalam istilah Minang disebut “Indak saparo ula saparo baluik (Tidak sebagian ular sebagian belut)” yang berarti tidak plin plan. Sebagai orang Minang saya tidak ingin dicap sebagai orang yang tidak berbudaya. Bagaimana dengan anda?

4 komentar:

Unknown mengatakan...

nan ambo yo sabana satuju kalau dibaliak an ka bahaso minang asli kasadonyo...

rancak template nyo da, SARAWA LEPIS ;)

NaNa mengatakan...

ambo iyo pulo bapikia mode uda mah da, kok baitu bana kini urang minang ko, batuka-tuka surang se tampek, namo makanan, dan lain-lainnyo jadi bahaso Indonesia. Lah ilang se budayo jo raso bangga wak nampaknyo mah da . Sebagai urang minang, ambo maraso sadiah jo malu mancaliak fenomena iko.

Salam kenal ciek yo da, blognya ancak. Ambo baru patamo kali singgah kasiko.

DaNi TheKing mengatakan...

Satuju bana ambo ko mah da, jan sampai hilang budayo awak di kampuang wak surang gara2 perkembangan zaman, apolagi kini yg mgkn acok wak danga ditalingo ko anak2 kini mamanggia uda nyo dengan sebutan abang,,, kalo bisa pemerintah sumbar kambali menggalakkan bahaso minang bia ndak punah ditalan zaman ....

#Salam dari Rantau

Unknown mengatakan...

io harus walau pun ambo dirantau tapi ambo setuju simpang ampek dari pado simpang empat alah patah lidah awak manyabuik nyow.