Selasa, Januari 31
Made in Indonesia, BUKAN Buatan Indonesia
Saya pikir kita telah berlebihan menerjemahkan “Made In Indonesia” itu sebagai “Buatan Indonesia…”
Made in Indonesia itu dibuat di Indonesia, namun pemilik pabriknya adalah orang-orang asing (Taiwan, Korea, dll.) sebagai kontaktor dari merk-merk terkenal dari seperti Nike, Adidas, Reebok, GAP, Old Navy, dll.
Banggakah kita jika ada barang-barang ber-merk terkenal dari mulai pakaian bayi sampai sepatu olah raga dengan label “Made in Indonesia” bertengger di sebuah outlet di Jl. Oxford, London, misalnya..?
Atau seperti pengalaman dari mbak Zila.nixon di Australia yang membeli sepatu Adidas ternyata Made In Indonesia…
Yah.., mungkin ada rasa bangga.. tentunya.. meski sesungguhnya barang-barang bermerk terkenal itu dibuat dari keringat para buruh Indonesia…
Dari sebuah celana boxer ber-merk terkenal seharga £ 8 (poundsterling), atau sekitar Rp 112,000, seorang buruh Indonesia hanya mendapatkan Rp 500 saja..! Padahal ia harus menghasilkan 3000 celana per hari.
Begitu murahnya harga buruh di Indonesia…,
bahkan jika upah seluruh buruh di Indonesia dikumpulkan menjadi satu, masih kalah dari bayaran yang diterima oleh Tiger Woods dalam meng-iklan-kan salah satu sepatu ber-merk terkenal. Bayangkan seorang pegolf yang sudah menurun karirnya pun masih bisa mendapatkan royalti yang besar dari setiap pembelian sepatu ber-merk tersebut. Sementara seorang buruh yang harus menghasilkan 100 pasang sepatu per hari hanya mendapat $ 2,46 per hari, sedangkan sepasang sepatunya saja bisa seharga US $100…!
Buruh murah untuk menarik investor asing katanya… namun sayangnya kode etik tidak diterapkan di banyak pabrik…. Peraturan perusahaan/ kode etik dari merk-merk tersebut tidak pernah diketahui oleh para buruh.
Jam kerja bisa betambah secara drastis saat ada pesanan mendadak untuk ekspor. Perusahaan akan memberlakukan long shift, yaitu bekerja dari jam 7.30 sampai 7.30 esok paginya… (24 jam ‘booo…!’) dengan dua kali istirahat. Dua jam kemudian langsung bekerja lagi sampai 18.30….
Tidak jauh berbeda di lain tempat, ada yang bekerja dari jam 8 sampai jam 12 malam, dengan alasan ada pesanan mendadak untuk ekspor, dan para buruh pun harus 16 jam (kurang lebih) berdiri… nyaris tanpa duduk….
Tidak ada pilihan lain… Buruh Indonesia sudah sedemikian miskin, dan tingkat pengangguran sudah sedemikian tinggi. Sehingga mereka mau bekerja apa saja dan berapa pun upahnya.
Di sinilah tempat tinggal para buruh yang memproduksi merk-merk terkenal yang biasa dipajang di mall-mall. Kehidupan seperti inilah yang harus dijalani buruh demi sepatu ber-merk, pakaian bagus, dan celana jeans dengan label “made in Indonesia…”
Tempat tinggal mereka dibuat seadanya. Saat hujan terkena banjir, dan kesulitan air bersih. Banyak anak-anak kekurangan gizi dan terjangkit penyakit. Perkampungan yang rentan dengan sarang nyamuk demam berdarah berkembang biak, yang mengancam kematian pada anak-anak.
Inilah tempat buruh bekerja, pengolahan sumber ekonomi, tempat di mana para pekerja membanting tulang dengan upah yang rendah. Pabrik-pabrik yang tampak modern di dalamnya, namun kita akan melihat wajah-wajah kelelahan… 1000 orang yang kebanyakan perempuan muda, bekerja dalam keadaan penuh sesak, di bawah lampu neon bersuhu 40 derajat celcius. Satu-satunya ruangan ber-AC ada di lantai atas untuk para bos.
Menurut pemerintah upah buruh sekarang ini, setengah lebih tinggi dari standar hidup. Tapi persoalannya standar hidup siapa..??
Seperti dikatakan oleh Nina Levi, yang memiliki pengalaman bekerja baik di perbankan maupun di bidang produksi.
“… umumnya pekerja produksi di Indonesia menghidupi tak hanya dirinya, kadang-kadang sampai 2-3 keluarga lainnya, tak sedikit mereka harus membagi gajinya untuk orang tua, mertua, adik ipar, adik kandung, dll. Hal inilah sering kali menjadikan (upah) pekerja produksi tak mencukupi, walaupun gajinya (bisa) lebih dari pekerja bank.” (Nina Levi)
Ini menggambarkan kondisi kemiskinan di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya ini…. Tidak heran jika dari 119,4 juta orang angkatan kerja, lebih banyak terjun ke sektor informal, dari mulai petani, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, kaki lima, warung, tukang tambal ban, pedagang bakso, pemulung, dlsb..
Untuk bekerja di kantor atau di sektor formal (swasta/pemerintah) hanya mampu menyediakan / menyerap 20% saja dari seluruh angkatan kerja. Jadi jangan heran jika pedestrian (kaki lima) selalu ‘dijajah’ oleh para pedagang informal, pasar selalu ‘tumpah’ hingga ke jalan-jalan raya, dan akhirnya banyak angkatan kerja yang memilih menjadi TKI ke luar negeri.
Tuntutan buruh pada dasarnya sederhana saja, bukan ingin menjadi manajer apalagi menggulirkan revolusi, melainkan hanya menuntut kondisi kerja yang lebih baik dan keamanan dari pemecatan. Adapun tuntutan upah yang memadai itu karena memang minimnya akses terhadap fasilitas sosial untuk mereka sebagai rakyat kecil, yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Karena buruh pun sebenarnya juga berkepentingan untuk melanggengkan kapitalisme.
Oleh: Erri Subakti | 30 January 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar