Bila menyempatkan datang ke Padang, Sumatera Barat, anda bisa menyambangi sebuah bangunan tua yang terletak di tepi jalan Ganting No.3, Kelurahan Ganting Selatan, Padang Timur, Sumatera Barat.
Adalah masjid Ganting, yang hingga kini masih ramai dikunjungi orang. Bangunannya yang khas membuat orang betah berlama-lamaan berada di masjid tersebut.
Bahkan saat siang hari pun, bila berada di dalamnya terasa sejuk, merasakan angin yang masuk melalui celah-celah masjid, sambil menikmati kemegahan arsitekturnya, dengan bangunan bergaya neo klasik eropa.
Bila ramadhan tiba, masjid Ganting menjadi tempat dimana masyarakat menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, ada yang bercengkrama, tadarusan, dzikir, bahkan yang hanya sekedar tidur-tiduran menunggu waktu berbuka.
Dilihat dari kontruksi masjid yang berbentuk tumpang, masjid Raya Ganting tergolong kuno, karena memiliki ciri-ciri khas seperti berdenah persegi panjang, mempunyai serambi di depan atau di samping ruang utama, mihrab dibagian barat, pagar keliling dengan satu pintu utama, dan beratap tumpang.
Di Tanah Air, bentuk atap tumpang yang berkembang cukup beragam mulai dari 2 tingkat hingga 7 tingkat. Masjid Raya Ganting memiliki atap tumpang berjumlah 5 tingkat. Semua ciri-ciri masjid kuno tersebut bisa dijumpai pada pola bangunan Masjid Raya Ganting.

Berbeda dengan data yang dimiliki Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Masjid Ganting dibangun sekitar tahun 1700 M. Pembangunan masjid tersebut berdiri di atas tanah wukuf 7 suku yang diserahkan melalui Gubernur Jenderal Ragen Bakh, penguasa Hindia Belanda di Sumatera Barat waktu itu.
Sedangkan pengerjaannya dilakukan secara bergotong-royong oleh masyarakat Ganting dan dibantu komunitas Belanda. Konon kabarnya, pendirian masjid Raya Ganting diprakarsai tiga pemuka agama di Padang: Angku Gapuak (saudagar dari Pasar Gadang); Angku Syekh Haji Uma (pemimpin kaum); Angku Syekh Kapalo Koto (ulama yang disegani).
Dirancang Khusus Seorang Arsitektur Belanda
Menurut berbagai literature, pendirian masjid tua tersebut dirancang oleh seorang arsitektur asal Belanda sehingga seni neo klasik eropah mendominasi bangunan masjid–terutama pada bagian tubuh bangunan. Sedangkan arsitektur tradisional itu melekat pada bagian atap masjid yang berbentuk tumpang lima.
Catatan Balai P3 Batusangkar, bangunan Masjid Raya Ganting berdenah 42×38 meter. Pondasi bangunan terbuat dari batu dan semen sedangkan bagian tubuh bangunan terbuat dari bata. Atap masjid bermaterikan seng dengan konstruksi kayu.
Itulah yang menyebabkan mengapa setiap orang yang berada di masjid tersebut akan merasa nyaman karena adanya pembagian ruangan. Ruang masjid dibagi atas ruang utama, serambi, mihrab, dan mimbar.

Karena arsitek pembangunan masjid Raya Ganting berasal dari Belanda, mempengaruhi denah masjid secara keseluruhan. Bangunan masjid berbentuk persegi panjang dan simetris yang merupakan ciri utama bangunan bergaya Neo Klasik Eropa.
Sokoguru (tiang utama) masjid berjumlah 25 buah yang berbentuk segi enam berdiameter 40 cm dengan tinggi mencapai 4,2 meter tanpa hiasan terbuat dari beton. Filosofi jumlah tiang tersebut mengingatkan ummat muslim tentang 25 Rasul Allah yang patut diimani. Nama ke-25 Rasul tersebut diukir dengan tulisan kaligrafi pada setiap tiang.

Pada bagian serambi depan terlihat 4 tiang tipe Doric kembar yang terletak pada padestal berbentuk balok. Pada serambi samping masjid terdapat tiang berbentuk segi enam dan tambun yang bagian atasnya terdapat hiasan pelipit-pelipit rata. Bentuk tiang tersebut mengingatkan pada bentuk tiang Order Doric pada arsitektur Eropa.

Sedangkan dinding sebelah timur dihias pilaster berbentuk order doric kembar bergalur. Seni hias tradisional juga menghiasi bangunan masjid bagian atap berbentuk tumpang. Pada setiap tumpang dibatasi dengan panil-panil kayu berukir bermotifkan ukiran Minangkabau.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar